Bagaimana Perubahan Iklim Bisa Menyebabkan Banjir Parah di Indonesia?

By Utomo Priyambodo, Selasa, 17 Januari 2023 | 07:00 WIB
Dua orang anak berada di atas perahu menerobos banjir di Desa Laloika, Kecamatan Pondidaha, Konawe, Sulawesi Tenggara. (ANTARA FOTO/JOJON)

Dalam makalah tersebut, para peneliti menjelaskan mekanisme di balik bagaimana dipol Samudra Hindia yang mereka pelajari terbentuk dan peristiwa terkait cuaca yang ditimbulkannya selama periode yang mereka amati. Periode ini mencakup akhir Zaman Es terakhir dan awal dari zaman geologis ini.

Para peneliti mengkarakterisasi dipol itu sebagai dipol timur-barat di mana air di sisi barat—yang berbatasan dengan negara-negara Afrika Timur modern seperti Kenya, Ethiopia, dan Somalia—lebih dingin daripada air di sisi timur menuju Indonesia. Mereka melihat bahwa kondisi air dipol yang lebih hangat membawa curah hujan yang lebih besar ke Indonesia, sedangkan air yang lebih dingin membawa cuaca yang jauh lebih kering ke Afrika Timur.

Hal ini cocok dengan apa yang sering terlihat dalam peristiwa dipol Samudra Hindia baru-baru ini. Pada bulan Oktober, misalnya, hujan lebat menyebabkan banjir dan tanah longsor di Pulau Jawa dan Sulawesi di Indonesia, menyebabkan empat orang tewas dan berdampak pada lebih dari 30.000 orang. Sebaliknya, Etiopia, Kenya, dan Somalia mengalami kekeringan hebat mulai tahun 2020 yang mengancam menyebabkan kelaparan.

Perubahan yang teramati pada 17.000 tahun lalu bahkan lebih ekstrem. Salah satunya pengeringan menyeluruh Danau Victoria, salah satu danau terbesar di bumi.

“Pada dasarnya, dipol mengintensifkan kondisi kering dan basah yang dapat mengakibatkan peristiwa ekstrem seperti kekeringan selama bertahun-tahun atau puluhan tahun di Afrika Timur dan banjir di Indonesia Selatan,” kata Xiaojing Du, seorang peneliti postdoctoral Voss di Institute at Brown for Environment and Society dan Department of Earth, Environmental and Planetary Sciences di Brown University yang jadi penulis utama studi tersebut.

"Ini adalah peristiwa-peristiwa yang memengaruhi kehidupan masyarakat dan juga pertanian di wilayah tersebut. Memahami dipol dapat membantu kita memprediksi dan mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk perubahan iklim di masa depan."

Dipol yang dipelajari para peneliti terbentuk dari interaksi antara sistem transportasi panas Samudra Atlantik dan lingkaran atmosfer, yang disebut Sirkulasi Walker, di Samudra Hindia tropis. Bagian bawah lingkaran atmosfer mengalir dari timur ke barat melintasi sebagian besar wilayah itu pada ketinggian rendah di dekat permukaan laut, dan bagian atas mengalir dari barat ke timur pada ketinggian yang lebih tinggi. Udara yang lebih tinggi dan udara yang lebih rendah terhubung dalam satu lingkaran besar.

Gangguan dan melemahnya transportasi panas Samudra Atlantik, yang bekerja seperti ban berjalan yang terbuat dari arus laut dan angin, disebabkan oleh pencairan besar-besaran lapisan es Laurentide yang pernah menutupi sebagian besar Kanada dan AS bagian utara. Pencairan ini mendinginkan Atlantik dan anomali angin yang diakibatkannya memicu putaran atmosfer di atas Samudra Hindia tropis menjadi lebih aktif dan ekstrem.

Hal itu kemudian menyebabkan peningkatan curah hujan di sisi timur Samudra Hindia, tempat Indonesia berada. Juga menyebabkan berkurangnya curah hujan di sisi barat, tempat Afrika Timur berada.

Para peneliti juga menunjukkan bahwa selama periode yang mereka pelajari, efek ini diperkuat oleh permukaan laut yang lebih rendah dan paparan landas kontinen di dekatnya.

Para ilmuwan mengatakan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui dengan tepat apa efek landas kontinen yang terbuka dan permukaan laut yang lebih rendah terhadap dipol timur-barat Samudra Hindia. Mereka sudah berencana untuk memperluas penelitian untuk menyelidiki pertanyaan tersebut.

Meski riset pada permukaan laut yang lebih rendah ini tidak akan berperan dalam pemodelan kondisi masa depan, penelitian yang telah mereka lakukan menyelidiki bagaimana pencairan gletser kuno berdampak pada dipol Samudra Hindia dan sistem transportasi panas Samudra Atlantik dapat memberikan wawasan kunci ke perubahan masa depan. Sebab, perubahan iklim sedang dan akan menyebabkan lebih banyak pencairan.

"Greenland saat ini mencair begitu cepat sehingga mengeluarkan banyak air tawar ke Samudra Atlantik Utara dengan cara yang berdampak pada sirkulasi laut," kata Russell.

“Penelitian yang dilakukan di sini telah memberikan pemahaman baru tentang bagaimana perubahan sirkulasi Samudra Atlantik dapat berdampak pada iklim Samudra Hindia dan melalui curah hujan di Afrika dan Indonesia.”