Nationalgeographic.co.id—Anda mungkin sering mendengar peringatan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan banjir parah di Indonesia. Namun, bagaimana proses dan mekanismenya?
Dengan analisis baru dari data iklim jangka panjang, para peneliti mengatakan bahwa mereka sekarang memiliki pemahaman yang jauh lebih baik tentang bagaimana perubahan iklim dapat berdampak dan menyebabkan suhu air laut di salah satu sisi Samudra Hindia menjadi jauh lebih hangat atau lebih dingin daripada suhu sisi lainnya. Fenomena ini kadang-kadang dapat menyebabkan peristiwa mematikan terkait cuaca ekstrem seperti kekeringan luas di Afrika Timur dan banjir parah di Indonesia.
Analisis tersebut telah dijelaskan dalam makalah studi baru yang terbit di jurnal Science Advances pada 4 Januari 2023. Dalam studi itu, tim ilmuwan internasional yang dipimpin oleh para peneliti dari Brown University membandingkan 10.000 tahun kondisi iklim masa lalu yang direkonstruksi dari kumpulan catatan geologi yang berbeda dengan simulasi dari model iklim tingkat lanjut.
Studi ini menunjukkan bahwa sekitar 18.000 hingga 15.000 tahun lalu, sebagai akibat dari pencairan air tawar dari gletser besar yang pernah menutupi sebagian besar Amerika Utara yang mengalir ke Atlantik Utara, arus laut yang membuat Samudra Atlantik tetap hangat jadi melemah. Hal ini memicu rangkaian peristiwa ekstrem. sebagai respons atas kondisi baru itu.
Melemahnya sistem tersebut pada akhirnya mengarah pada penguatan loop atmosfer di Samudra Hindia yang menahan air yang lebih hangat di satu sisi dan air yang lebih dingin di sisi lainnya.
Pola cuaca ekstrem ini, yang dikenal sebagai dipol, mendorong satu sisi (baik timur atau barat) memiliki curah hujan lebih tinggi dari rata-rata dan sisi lainnya mengalami kekeringan yang meluas. Para peneliti melihat contoh pola ini baik dalam data historis yang mereka pelajari maupun dalam simulasi model.
Mereka mengatakan temuan itu dapat membantu para ilmuwan tidak hanya lebih memahami mekanisme di balik dipol timur-barat di Samudra Hindia. Namun, mereka meyakini, suatu hari nanti ini dapat membantu menghasilkan prakiraan kekeringan dan banjir yang lebih efektif di wilayah tersebut.
"Kita tahu bahwa saat ini gradien suhu Samudra Hindia penting untuk pola curah hujan dan kekeringan, terutama di Afrika Timur, tetapi sulit untuk menunjukkan bahwa gradien tersebut berubah dalam skala waktu yang lama dan menghubungkannya dengan curah hujan jangka panjang dan pola kekeringan di kedua sisi Samudra Hindia," kata James Russell, penulis studi ini dan profesor ilmu bumi, lingkungan, dan planet di Brown University.
"Kami sekarang memiliki dasar mekanistik untuk memahami mengapa beberapa perubahan jangka panjang dalam pola curah hujan di dua wilayah telah berubah sepanjang waktu," ujar Russell, seperti dikutip dari keterangan tertulis Brown University.
Baca Juga: Sejarah Banjir Jakarta: Mengapa Tak Tertangani sejak Hindia Belanda?
Baca Juga: Banjir Jawa: Penurunan Tanah Jakarta, Pekalongan, Semarang Mengerikan
Baca Juga: Kota-Kota Besar Dunia Akan Tenggelam, Bagaimana dengan Jakarta?