Kepunahan Massal Akhir Permian Dipengaruhi Runtuhnya Lapisan Ozon

By Ricky Jenihansen, Rabu, 11 Januari 2023 | 13:00 WIB
Runtuhnya lapisan ozon berkontribusi pada kepunahan massal akhir Permian. (MIT)

Nationalgeographic.co.id—Studi baru ahli paleontologi menemukan bahwa runtuhnya lapisan ozon berkontribusi pada kepunahan massal akhir Permian. Penelitian tersebut dipimpin ilmuwan Nanjing Institute of Geology and Palaeontology bersama rekan peneliti University of Nottingham.

Temuan tersebut telah diterbitkan di jurnal Science Advances. Jurnal akses terbuka tersebut dipublikasikan dengan judul "Dying in the Sun: Direct evidence for elevated UV-B radiation at the end-Permian mass extinction" yang bisa didapatkan secara daring.

Pada penelitian tersebut, ahli paleontologi menganalisis kelimpahan bahan kimia seperti tabir surya di 800 butir serbuk sari fosil dari batuan berusia 250 juta tahun di Tibet.

"Tumbuhan darat dapat menyesuaikan konsentrasi senyawa penyerap ultraviolet B (UV-B) pelindung (UAC) di dinding luar propagul reproduksinya sebagai respons terhadap fluks UV-B sekitar," tulis peneliti.

"Untuk menyimpulkan perubahan fluks radiasi UV-B di permukaan bumi selama kepunahan massal Permian akhir, kami menganalisis kelimpahan UAC 800 butir serbuk sari dari bagian perbatasan Permian-Trias yang diberi tanggal secara independen di Tibet."

Untuk diketahui, kepunahan massal akhir Permian atau Permian-Trias adalah peristiwa kepunahan massal terbesar dalam sejarah Bumi.

Peristiwa kepunahan Permian-Trias, umumnya dikenal sebagai Great Dying atau Great Permian Extinction. Peristiwa itu terjadi sekitar 252 juta tahun yang lalu, yang membentuk batas antara periode geologi Permian dan Trias, serta era Paleozoikum dan Mesozoikum.

Peristiwa kepunahan ini disebut sebagai kepunahan terbesar yang pernah menghantam Bumi dan memusnahkan sekitar 96 persen dari semua spesies planet dan memusnahkan reptil, serangga, dan amfibi yang hidup di daratan.

Kepunahan massal akhir Permian membunuh hampir 96 persen dari semua spesies laut dan 70 persen spesies vertebrata darat di planet ini selama ribuan tahun.

Dampak penipisan ozon dan peningkatan tingkat UV-B pada ekosistem darat. (Conor Haynes-Mannering, University of Nottingham)

Hilangnya keanekaragaman hayati yang sangat besar ini merupakan tanggapan terhadap keadaan darurat paleoklimat yang dipicu oleh penempatan letusan gunung berapi skala benua yang menutupi sebagian besar wilayah Siberia modern.

Aktivitas gunung berapi mendorong pelepasan sejumlah besar karbon yang telah terkunci di bagian dalam bumi ke atmosfer, menghasilkan pemanasan rumah kaca skala besar.

Peristiwa yang menyertai pemanasan global ini adalah runtuhnya lapisan ozon Bumi.

Dukungan untuk teori ini berasal dari banyaknya spora yang cacat dan butiran serbuk sari yang bersaksi tentang masuknya radiasi UV mutagenik.

“Tanaman membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesis tetapi perlu melindungi diri mereka sendiri dan terutama serbuk sari mereka terhadap efek berbahaya dari radiasi UV-B,” kata Profesor Barry Lomax dari University of Nottingham, rekan penulis studi tersebut.

“Untuk melakukannya, tanaman memuat dinding luar butiran serbuk sari dengan senyawa yang berfungsi seperti tabir surya untuk melindungi sel yang rentan guna memastikan keberhasilan reproduksi.”

Baca Juga: Mengapa Dinosaurus Punah, Sedangkan Burung dan Mamalia Selamat?

Baca Juga: Kehilangan Ribuan Spesies Tiap Tahun, Bumi Menuju Kepunahan Massal

Baca Juga: Bagaimana Beberapa Siput Laut Bertahan Hidup dari Kepunahan Massal?

Penulis pertama Profesor Liu Feng, seorang peneliti di Institut Geologi dan Paleontologi Nanjing mengatakan, mereka telah mengembangkan metode untuk mendeteksi senyawa fenolik ini dalam butiran serbuk sari fosil yang ditemukan dari Tibet.

Tujuannya untuk mendeteksi konsentrasi yang jauh lebih tinggi pada butiran yang dihasilkan selama kepunahan massal dan fase puncak aktivitas gunung berapi.

Sementara, Wes dari Oxford Brookes University Fraser, rekan penulis studi ini mengatakan volkanisme pada skala dahsyat seperti itu berdampak pada semua aspek sistem Bumi.

"Mulai dari perubahan kimiawi langsung di atmosfer, melalui perubahan tingkat penyerapan karbon, hingga pengurangan volume sumber makanan bergizi yang tersedia untuk hewan,” kata Wes.