Satelit NASA Lacak Penyebaran Limpahan Emisi Karbon Dioksida

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 17 Januari 2023 | 09:00 WIB
Simulasi NASA tahun 2015 jika semua karbon dioksida tidak pernah diserap. ( NASA/JPL/GSFC)

Nationalgeographic.co.id—Apakah sahabat merasakan suhu semakin panas dari tahun ke tahun? Suhu rata-rata global diproyeksikan akan meningkat mencapai angka 1,5 dan dua derajat Celsius 2030 mendatang, menurut Sixth Assessment Report (AR6) IPCC tahun 2021. Jika Anda merasa peningkatan suhu di sekitar Anda, kemungkinan pemanasan prediksi IPCC sangat nyata.

Peningkatan itu, menurut laporan tersebut, disebabkan "kelebihan karbon dioksida" di atmosfer Bumi. Dampaknya akan secara signifikan memengaruhi sistem ekologi, termasuk kepunahan spesies, kebakaran hutan, cuaca ekstrem, dan gagal panen.

Deteksi konsentrasi karbon dioksida sebelumnya telah dilaporkan tahun 2013 oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dengan berjumlah mencapai 400 ppm (bagian per juta). Kadar ini untuk pertama kalinya menyentuh angka besar sejak Era Pliosen antara 5 hingga 1 juta tahun silam.

Baru-baru ini pemetaan terkait penyebaran kelimpahan, terpantau oleh satelit NASA dalam rilisnya pada tanggal 9 Januari 2023. Pantauan ini diungkap lewat misi satelit kembar Orbiting Carbon Observatory (OCO) 2 dan 3 milik NASA yang telah beroperasi sejak 2014 dan 2019. Keduanya dapat membantu dan memahami karakteristik perubahan iklim dengan lebih baik.

Para peneliti menggunakan data dari OCO-2 dan OCO-3. Mereka memantau pembangkit listrik tenaga batu bara di Polandia, yakni Pembangkit Listrik Belchatów yang telah beroperasi sejak 1988. Pembangkit listrik ini salah satu yang menggunakan lignit terbesar di dunia dengan kapasitas sebesar 5.102 megawatt.

Dari sanalah para peneliti mendeteksi dan melacak perubahan karbon dioksida dan menghitung emisi yang dihasilkannya. Hasil temuannya, mereka publikasikan di Frontiers in Remote Sensing pada Oktober 2022, bertajuk "Tracking CO2 emission reductions from space: A case study at Europe’s largest fossil fuel power plant"

“Sebagai komunitas, kami menyempurnakan alat dan teknik untuk dapat mengekstraksi lebih banyak informasi dari data daripada yang kami rencanakan semula. Kami belajar bahwa kami benar-benar dapat memahami lebih banyak tentang emisi antropogenik daripada yang kami perkirakan sebelumnya," ujar Abhishek Chatterjee, ilmuwan proyek misi OCO-3 dan salah satu peneliti.

"Sangat menarik untuk berpikir bahwa kami akan mendapatkan operasi lima hingga enam tahun lagi dengan OCO-3. Kami melihat bahwa melakukan pengukuran pada waktu yang tepat dan pada skala yang tepat sangatlah penting,” ia melanjutkan.

OCO-3 NASA dipasang di bagian bawah Stasiun Luar Angkasa Internasional. Instrumen yang diluncurkan pada 2019 itu awalnya tidak dirancang untuk mendeteksi emisi karbon dioksida dari fasilitas individu, tetapi para ilmuwan mengatakan itu akan digunakan untuk studi sumber lebih lanjut di masa depan. (NASA/JPL-Caltech)

Penulis utama makalah itu adalah Ray Nassar. Dia adalah peneliti senior di Environment and Climate Change Canada (ECCC). Dia menegaskan bahwa sebagian besar laporan emisi karbon dioksida dibuat dari perkiraan atau data yang dikumpulkan di permukaan tanah.

Caranya, para peneliti memperhitungkan massa bahan bakar fosil yang digunakan, menghitung emisi yang diharapkan, dan biasanya tidak melibatkan pengukuran atmosfer. “Rincian yang lebih baik tentang kapan tepatnya dan di mana emisi terjadi sering kali tidak tersedia,” tuturnya.

Baca Juga: Negara-Negara Kaya Patungan untuk Sapih Indonesia dari Batu Bara