Di ruang utamanya memang ada banyak patung, dan yang dewa utama yang didoakan adalah Phan Ko—dewa pencipta alam semesta. Sementara, tidak jauh dari altar terdapat batu besar yang merupakan petilasan Mbah Raden Mangunjaya. Lalu, di belakang altar terdapat ruang musala yang di dalamnya ada petilasan Mbah Sake.
Candra menyebutkan, klenteng ini terbuka untuk siapa saja yang mau beribadah. Umat muslim biasanya datang untuk berziarah ke petilasan-petilasan tersebut, termasuk ber-tawwasul. Ruang musala sendiri tersedia peralatan salat. Selain perayaan Imlek, klenteng ini juga ramai saat maulid Nabi Muhammad.
Baca Juga: Tradisi Tahun Baru Tionghoa yang Tak Usai di Hari Imlek Saja
Baca Juga: Tahun Baru Imlek, Ajang Reuni Keluarga dan Migrasi Manusia Terbesar
Baca Juga: Pertanyaan Pribadi di Kumpul Keluarga, Bagaimana Cara Menghadapinya?
Baca Juga: Akulturasi Indonesia-Tionghoa: Jejak Budaya Antarbangsa yang Lestari
Selain itu, pada masa Orde Baru, ketika semua hal yang berhubungan dengan tradisi Tionghoa dipersulit, klenteng ini sementara 'menjadi wihara'. Statusnya sebagai klenteng dikembalikan ketika diskriminasi rasial itu dihapuskan. Oleh karena itu, masyarakat dari kalangan etnis dan agama mana pun, merasa memiliki klenteng ini.
"Apa makna dari bersih-bersih patung menjelang Imlek, Pak?" tanya saya. Candra menjawab, "Bersih-bersih patung memang sudah menjadi keharusan dan merupakan tradisi. Namun dalam hal ini, kita ada satu keyakinan bahwa selain membersihkan patung itu, membersihkan diri kita dari hal-hal yang membuat kita mengurangi perbuatan kurang baik."
"Ketika seseorang membersihkan klenteng dan patung, membutuhkan kekhusyukan—konsentrasi dengan kebersihan pikiran," dia menambahkan. "Agama [yang ikut memandikan patung] mungkin beda-beda, tetapi makna kebersihan itu untuk semuanya. Tinggal dimaknai oleh agamanya masing-masing."
Klenteng ini telah diresmikan sebagai cagar budaya tahun 2011. Karena di dalamnya memiliki tempat ziarah bagi banyak kalangan, Pulo Geulis menjadi kampung wisata etnik sejak 2018.