Kehidupan Puyi di bawah rezim Mao
Ketua Mao memerintahkan Puyi dikirim ke Pusat Manajemen Penjahat Perang Fushun. Disebut Penjara Liaodong No. 3, ini adalah kamp pendidikan ulang bagi tawanan perang dari Kuomintang, Manchukuo, dan Jepang. Puyi menghabiskan 10 tahun berikutnya di penjara dan terus-menerus dibombardir dengan propaganda komunis.
Pada tahun 1959, Puyi siap untuk berbicara di depan umum mendukung Partai Komunis Tiongkok. Oleh karena itu, sang mantan kaisar pun dibebaskan dari kamp dan diizinkan kembali ke Beijing. Di sana, Puyi mendapat pekerjaan sebagai asisten tukang kebun di Kebun Raya Beijing. Pada tahun 1962, Puyi menikah dengan seorang perawat bernama Li Shuxian.
Mantan kaisar bahkan bekerja sebagai editor Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok sejak 1964. Di sela-sela waktu luangnya, ia menyempatkan diri untuk menulis otobiografi, "Dari Kaisar untuk Warga Negara," yang didukung oleh pejabat tinggi partai Mao dan Zhou Enlai.
Kedamaian yang tidak pernah tercapai
Ketika Mao memicu Revolusi Kebudayaan pada tahun 1966, Pengawal Merahnya segera menargetkan Puyi sebagai simbol pamungkas "Tiongkok kuno".
Akibatnya, Puyi kembali ditempatkan di bawah perlindungan. Ia kembali kehilangan banyak kemewahan sederhana yang diberikan kepadanya selama bertahun-tahun sejak pembebasannya dari penjara. Di saat yang sama, kesehatannya juga menurun.
Pada 17 Oktober 1967, di usianya yang baru menginjak 61 tahun, Puyi, kaisar terakhir Tiongkok, meninggal karena kanker ginjal.
Kehidupannya yang aneh dan bergejolak berakhir di kota tempat ia berawal. Ia mengembuskan napas terakhir setelah melalui enam dekade dan tiga rezim politik.