Beda Duka: Berkabung Singkat ala Bali hingga Merawat Mayat ala Toraja

By Utomo Priyambodo, Jumat, 27 Januari 2023 | 10:00 WIB
Anak, cucu dan keluarga mengangkat jenazah Sombo usai dipato'dang (didudukkan) di ruang tengah rumahnya di Desa Sasakan, Mamasa. Jenazah Sombo disimpan di dalam peti yang berada di atas rumahnya sambil menunggu prosesi puncak rambu solo'. (Yusuf Wahil/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Setiap budaya di dunia memiliki cara berbeda dalam menyikapi kedukaan atas meninggalnya kerabat tercinta. Rasa duka setiap orang mungkin serupa, tetapi respons mereka bisa berbeda-beda tergantung pada tradisi dan budaya asal mereka.

Para ilmuwan sepakat bahwa kesedihan atau kedukaan adalah emosi universal. Ini adalah sesuatu yang kita semua rasakan, tidak peduli dari mana kita berasal atau apa yang telah kita lalui. Duka datang untuk kita semua dan sebagai manusia yang menjalin hubungan dekat dengan orang lain, rasa ini sulit untuk dihindari.

Studi tentang otak yang berduka—baik itu pemindaian daerah otak yang memproses kesedihan, atau ukuran hormon stres kortisol yang dilepaskan dalam kesedihan—tidak menunjukkan perbedaan dalam kaitannya dengan ras, usia, atau agama. Orang-orang dari semua budaya berduka; kita semua merasakan kesedihan, kehilangan, dan keputusasaan. Kita hanya meluapkannya—dan menunjukkannya—dengan cara yang berbeda.

John Frederick Wilson, peneliti sekaligus Direktur Bereavement Services Counselling & Mental Health Clinic di York St John University, menghimpun berbagai bentuk kedukaan dari bermacam budaya yang berbeda. Berikut adalah beberapa contoh yang menunjukkan bagaimana kesedihan dan duka dapat terlihat sangat berbeda tergantung dari mana Anda tinggal dan berasal.

Mulai dari contoh di Indonesia, orang-orang di Bali hanya boleh berkabung secara singkat dan tidak dianjurkan untuk meneteskan air mata. Jika anggota keluarga menangis, air mata tidak boleh jatuh pada jenazah karena dianggap memberikan tempat yang buruk di surga. Menangis terlalu lama dianggap mengundang roh jahat dan membebani jiwa orang mati dengan ketidakbahagiaan.

Hal ini cukup berbeda dengan di Mesir yang menganggap berduka dengan air mata setelah tujuh tahun masih dianggap sehat dan normal. Adapun di AS hal ini dianggap sebagai gangguan. Memang, di barat, kesedihan mendalam yang melebihi 12 bulan diberi label "gangguan kesedihan yang berkepanjangan".

Kembali lagi ke Indonesia, kali ini ke Toraja, Sulawesi Selatan. Orang-orang Toraja di Pulau Sulawesi memperlakukan mayat kerabatnya seolah-olah sakit ketimbang mati. Mereka membawakan makanan dan menemani jenazah itu hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Terkait pemakaman unik ini, Eropa memiliki kebiasaannya sendiri. Di Inggris hingga pertengahan abad ke-20, di sepanjang pantai Yorkshire, pembaringan jenazah dilakukan oleh para wanita desa. Teman dan keluarga akan datang untuk melihat mendiang, memberikan penghormatan, dan mengenang kenangan orang tersebut.

Praktik itu berlanjut di beberapa negara. Di Italia, misalnya, peti mati sementara yang didinginkan dikirim ke rumah keluarga sehingga orang dapat membawa bunga dan memberi penghormatan segera setelah kematian.

Baca Juga: Mengikuti Ritual Rambu Solo di Mamasa, Apa Bedanya dengan di Toraja?

Baca Juga: Selidik Perayaan Menuju Keabadiaan di Mamasa, Sulawesi Barat

Baca Juga: Pesan di Balik Pemakaman, Kebersamaan, dan Pluralisme di Toraja