Beda Duka: Berkabung Singkat ala Bali hingga Merawat Mayat ala Toraja

By Utomo Priyambodo, Jumat, 27 Januari 2023 | 10:00 WIB
Anak, cucu dan keluarga mengangkat jenazah Sombo usai dipato'dang (didudukkan) di ruang tengah rumahnya di Desa Sasakan, Mamasa. Jenazah Sombo disimpan di dalam peti yang berada di atas rumahnya sambil menunggu prosesi puncak rambu solo'. (Yusuf Wahil/National Geographic Indonesia)

"Dalam hal berduka di barat, fokusnya sering ditempatkan pada individu," tulis John Frederick Wilson di The Conversation. "Orang-orang berbicara tentang kesedihan pribadi mereka, dan konseling biasanya diatur hanya untuk satu orang—bahkan kelompok pendukung dihadiri oleh anggota perorangan."

Namun bagi banyak masyarakat adat, berduka dilakukan secara kolektif, dan di beberapa budaya hal ini lebih terasa daripada yang lain. Dalam keluarga Hindu di India, misalnya, kerabat dan teman berkumpul untuk mendukung keluarga dekat dalam ritual 13 hari yang rumit. Seorang janda berhenti menjadi kepala rumah tangga dan tempatnya digantikan oleh istri dari anak laki-laki tertuanya.

Khas budaya penduduk asli Amerika, para tetua suku Lakota menggunakan ungkapan "mitakuye oyasin", yang berarti "kita semua terkait". Kematian siapa pun di suku itu dirasakan oleh semua orang.

Di Tibet, masa berkabung umat Buddha setelah pemakaman berlangsung selama 49 hari. Selama ini keluarga berkumpul untuk membuat patung tanah liat dan bendera doa, memungkinkan ekspresi kesedihan secara kolektif.

Kesedihan kolektif juga merupakan norma dalam budaya tradisional Tiongkok, tetapi di sini keluarga juga membuat keputusan bersama yang terkadang mengecualikan orang yang sekarat. Hal ini terlihat pada film tahun 2019 The Farewell yang diangkat dari kehidupan nyata sutradara dan penulis Lulu Wong. Dalam film tersebut, sebuah keluarga Tionghoa menemukan nenek mereka hanya memiliki waktu yang singkat untuk hidup dan memutuskan untuk menyembunyikannya, menjadwalkan pernikahan untuk berkumpul sebelum dia meninggal.

Ritual untuk pemakaman jenazah bisa jadi rumit di banyak budaya. Orang-orang Māori di Selandia Baru, misalnya, menyisihkan waktu untuk bersedih dan berkabung. Mereka melakukan ritual untuk orang mati dalam proses yang disebut "tangihanga".

Pertama, ritual mengirimkan roh. Kemudian, jenazah disiapkan oleh seorang pengurus, seringkali dibantu oleh anggota keluarga. Jenazah lalu kembali ke rumah keluarga untuk mengenang keluarga dalam perayaan.

Ritual rumit mencakup tarian dan nyanyian dan akhirnya pidato perpisahan dilakukan. Artefak tradisional termasuk pakaian, senjata, dan perhiasan ditampilkan. Setelah pemakaman, ada ritual pembersihan rumah dan pesta almarhum, sebelum akhirnya membuka selubung nisan.

Dalam ritual Rambu Solo di Toraja dan Mamasa, proses pemakaman juga sama rumitnya. Dalam rangkaian upacara pemakaman adat itu, keluarga harus menyiapkan pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang dan menyembelih kerbau yang harganya bisa mencapai miliaran rupiah.