Nationalgeographic.co.id—Tidak jarang saya menemui meme "Ada Indonesia, coy!", sebagai reaksi terhadap kabar tentang Indonesia di lingkup global (Indonesian reference). Gambarnya memuat pria melihat komputer sambil tersenyum, atau adegan Leonardo DiCaprio dari film "The Wolf of Wall Street" yang menunjuk televisi.
Memenya bertebaran di banyak kolom entah itu berita keterlibatan Indonesia di kancah global, artis Indonesia yang tenar di luar negeri, bahkan sekadar penyebutan unsur Indonesia di film atau konten YouTube orang luar negeri.
Meme seperti itu tidak hanya di konten yang positif saja terkait Indonesia, tetapi juga menjadi satir ketika ada kabar buruk orang atau negara Indonesia yang disorot kancah global. Saya pun mengirim meme yang sama ketika artikel National Geographic Indonesia berjudul "Kebanyakan Sampah Plastik di Pantai Afrika Ini Berasal dari Indonesia" tayang di akun Twitter resminya.
"Ada Indonesia, coy" sering dikirimkan sebagai gambaran satir sifat orang Indonesia yang bangga berlebihan, ketika unsur Indonesia sering disebutkan. Kalangan dari berbagai komunitas meme menyepakati hal tersebut.
Belum lagi, pertengahan Januari 2023, warganet heboh dengan penyebutan "Jakarta" dan "Indonesia" dalam serial HBO "The Last of Us". Kehebohan di dunia maya itu semakin tinggi ketika serial tersebut menayangkan adegan berlatar di Jakarta dan hadirnya aktris Christine Hakim sebagai salah satu pemeran.
Sikap bangga berlebihan, atau overproud "sering kali identik dengan hal buruk dan terkesan 'norak/kampungan'. Dalam arti yang lebih mendalam, overproud adalah sebuah istilah seseorang dengan bodohnya sangat bangga akan sesuatu dan kemudian membuatnya itu hal terbaik yang pernah mereka lihat atau alami, tetapi di mata orang lain hal itu tidak istimewa," tulis Presillia Nur Avida dikutip dari skripsinya.
Presillia adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang. Lewat skripsinya, dia menyebut bahwa Indonesian reference menjadi komoditas konten untuk meraih penonton lebih banyak di YouTube, dalam hal ini kanal Ujung Oppa.
Sementara, Ravananta Andana Putrandi dari Hubungan Internasional Universitas Brawijaya punya pendapat lain. Lewat Jurnal Transformasi Global tahun 2021, Ravananta menyebutkan bahwa sikap bangga berlebihan atas Indonesian reference adalah fenomena pascakolonialisme.
Dalam waktu yang lama, masyarakat Indonesia menghadapi kolonialisme Barat. Kolonialisme membawa pemisahan sosial yang cenderung rasialis, bahkan ditetapkan secara hukum. Pada akhirnya, sistem seperti ini memiliki sifat merasa lebih rendah (inferior) daripada penjajahnya.
"Kehadiran Indonesian references pada budaya populer asing sendiri jika dilihat dari sisi psikologis dapat dianalisa dengan pendekatan terkait inferiority complex mentality (mentalitas kompleks inferior)," terang Ravananta.
Baca Juga: Kenapa Indonesia Bergradasi Warna Kuning di Serial 'The Last of Us'?
Baca Juga: Kebanyakan Sampah Plastik di Pantai Afrika Ini Berasal dari Indonesia
Baca Juga: Kesejahteraan Mental Saat Remaja Punya Dampak Kesehatan Semasa Dewasa
Baca Juga: Bagaimana Perubahan Iklim Bisa Menyebabkan Banjir Parah di Indonesia?
Mentalitas kompleks inferior adalah sikap ketidakmampuan atau ketidakyakinannya diri. Sikap ini kemudian membuat dirinya lebih kurang atau lebih rendah daripada orang lain. Inferioritas secara kolektif tentunya muncul akibat kecacatan norma nilai sosial yang diwariskan dari kolonialisme.
Pada akhirnya, kelompok yang setelah sekian lama terdiskriminasi ini membutuhkan pengakuan dari kelompok yang dinilai lebih unggul. Pengakuan ini penting bagi mereka, agar bisa berjuang dan bertahan hidup.
Hal ini tercermin oleh bagaimana orang Indonesia bermedia, terang Ravananta. "Budaya populer asing yang mengusung Indonesian reference disambut dengan sangat antusias dan terkesan berlebih dan dalam menanggapinya merupak bentuk dari kecenderungan masyarakat Indonesia akan validasi dan legitimasi dari negara-negara asing akan kebudayaan asli Indonesia," tulisnya.
Namun, alasan Indonesian reference tidak selalu karena apresiasi. Lama-kelamaan, justru menjadi strategi pemasaran dengan motif ekonomi dari banyak pihak, seperti yang dikaji Presillia. Atau, contoh lainnya, ada banyak konten youtuber, atau film Barat dengan Indonesian reference yang ramai dibanjiri oleh orang Indonesia.
"Tentu, rasa bangga akan budaya Indonesia yang mulai dikenal di dunia adalah perasaan yang wajar dialami oleh masyarakat Indonesia. Sambutan yang baik dari masyarakat Indonesia merupakan refleksi dari rasa cinta dan peduli masyarakat Indonesia terhadap budayanya," lanjutnya.
"Namun overproud Indonesian yang kini berkonotasi buruk baik di perspektif publik global maupun nasional bisa menjadi ‘pisau bermata dua’ bagi masyarakat Indonesia. Respon yang mulanya bersifat wajar dan maklum justru bisa mencoreng nama Indonesia sebagai bangsa yang masih sangat terpengaruh akan post-colonialism (pascakolonial)."