Mengenal Generasi Z dan Kerentanannya Terhadap Gangguan Mental

By Galih Pranata, Jumat, 3 Februari 2023 | 10:00 WIB
Generasi Z yang cenderung disosiatif bisa saja mengalami kerentanan gangguan mental dan depresi. (Getty Images)

Nationalgeographic.co.id—Berada di dalam lingkungan pendidikan sekolah menengah, membuat saya senantiasa bercengkrama dengan murid-murid yang notabene adalah "Generasi Z."

Saya berdiskusi dengan beberapa guru yang telibat dalam riset kepenulisan tentang tema ini, seperti Apriliani Chrisnanda Putri sebagai Guru Konseling dan Jonanda Fattah Anugerah sebagai pengamat sosial remaja.

Melalui sejumlah diskusi dan dialektika, muncul suatu gagasan untuk melakukan riset sederhana guna mengejawantahkan tentang Generasi Z dan kerentanan mereka terhadap gangguan kesehatan mentalnya.

Sebelum membahas lebih jauh, pertama-tama, kita perlu mengenal terlebih dahulu tentang "siapa sebenarnya anak-anak dalam Generasi Z?" Seorang ahli bernama Zsuzsa Emese Csobanka (2016) pernah menuliskannya.

Csobanka memperkenalkan tentang karakteristik Generasi Z dalam jurnal Acta Technologica Dubnicae berjudul The Z Generation terbitan tahun 2016. Menurutnya "Generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1991 hingga 2002 (berusia 14-25 tahun pada 2016)."

Dalam versi lain, Solstice East dalam risetnya menyebut bahwa Generasi Z lahir antara tahun 1995-2005. Mereka menjadi generasi baru yang mengawali peradaban digital di muka bumi.

Csobanka mengutip dari riset terdahulu—Don Tapscott (1998), lalu Marc Prensky (2001)—tentang kemunculan sebuah generasi digital yang hidupnya dipenuhi dengan kemudahan akses komunikasi dan informasi.

Menurut Prensky, masyarakat yang lahir dalam dunia digital, mereka telah menjalani masa peralihan dari dunia nyata ke dunia virtual. Secara psikologi sosial, mereka dikenal memiliki kecenderungan eksplosif. Barangkali dari sini, mereka punya suatu kerentanan.

Bahkan dalam banyak riset menunjukkan bahwa "Generasi Z dianggap lebih rapuh dan kurang tangguh dibandingkan generasi sebelumnya," imbuh koresponden Solstice East dalam artikel berjudul Why Are Gen Z Teenagers More Likely to Self Harm? terbitan 11 September 2019. 

Janis Whitlock, direktur Cornell Research Program on Self-Injury and Recovery, menjelaskan bahwa generasi mereka memiliki kerentanan dalam menjaga kestabilan mental. "Mereka cenderung mudah kewalahan dan putus asa," katanya.

Ada hal menarik yang disampaikan dalam riset yang dilakukan Janis, bahwa generasi Z memiliki tingkat yang rendah dalam mengambil risiko. Dari sini juga, menyebabkan mereka mengalami penundaan dalam mencapai "kedewasaan" dalam berpikir dan berperilaku.

Berbeda dengan generasi yang lahir sebelum 1990-an, di mana mereka telah terdidik zaman dan situasi sosialnya. Generasi Z tidak pernah merasakan adanya sebuah depresi ekonomi yang menyengsarakan, atau juga berbagai perang dan teror yang membangun mentalitas.

Dari perbedaan zaman dan situasi sosial inilah juga yang memisahkan karakter Generasi Z dengan generasi sebelumnya, sehingga membentuk karakter Generasi X dan Y untuk tidak mudah menyerah.

Berbeda dengan Generasi Z yang dimanjakan teknologi seiring dengan kemutakhiran zaman. Pola-pola disosiatif akibat penggunaan gawai berlebih, hanya akan menyebabkan kerentanan mereka akan depresi dan penyakit mental.

McKinsey Insights mencatat bahwa terjadi peningkatan 25% dalam Generasi Z yang dilaporkan telah mengalami tekanan emosional dari generasi sebelumnya. Hal ini disebabkan karena perilaku disosiatif dan rasa aman dengan hanya berteman gawai.

Padahal, riset Beresford menunjukkan adanya dampak buruk di mana konten gawai dapat menjadi pemicu munculnya kecemasan hingga depresi yang berujung pada gangguan kesehatan mental.

Kecenderungan terhadap gawai bisa saja menjadi gejala awal dari gangguan mental dan depresi. (Pixabay)

Sebuah survei yang dilakukan American Psychological Association, menemukan bahwa hampir setengah dari Gen Z menghabiskan 10 jam bahkan lebih untuk online per harinya! Hal itulah yang membatasi jumlah kontak langsung dengan orang lain dan dapat menimbulkan perasaan terasing dan kesepian.

Generasi Z juga lebih menyukai platform berbasis gambar dan video dibandingkan dengan generasi yang lebih tua dari mereka, sehingga mereka condong berpedoman pada TikTok, Instagram, dan Snapchat sehari-harinya.

Baca Juga: Orang dengan Gangguan Mental Bekerja 10,5 Tahun Lebih Sedikit

Baca Juga: Fakta: Orang Gangguan Jiwa, Tertarik pada Pasangan Punya Gangguan Jiwa

Baca Juga: Mengenal Kepribadian 'Dark Triad', Mari Mewaspadai Sisi Jahat Manusia

Baca Juga: Temuan Sains: Pria Berisiko Alami Gangguan Mental setelah Putus Cinta

Parahnya, tidak semua yang mereka lihat dapat tersaring dengan baik. Paparan terhadap cyberbullying atau konten yang menonjolkan tindakan self harm, pelecehan, dan lainnya, dapat membahayakan kesehatan mental mereka.

Maka dari itu, melihat isu-isu yang marak belakangan, sudahlah jelas bahwa para remaja saat ini adalah mereka yang hidupnya sangat bergantung pada teknologi digital. Bagaimanapun, sudah saatnya membangun kesadaran dalam memahami diri sendiri, dan Generasi Z.

Maka dari itu, pengaruh internet, iklan, dan pengaruh eksternal lainnya sangat penting untuk disaring pada tahap ini. Menjaga diri dan membangun relasi sosial akan sangat membantu menhantisipasi gangguan mental dan membangun identitas mereka.