Misteri Suku Shihuh yang Terisolasi di Gunung: Apakah Orang Arab Asli?

By Utomo Priyambodo, Selasa, 7 Februari 2023 | 16:30 WIB
Syal dan kerudung emas yang dikenakan di Iran Selatan, disebut battula, mirip dengan yang biasa dikenakan oleh wanita suku Shihuh. (Hamed Saber and StellarD/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Di Pegunungan Musandam, dua jam berkendara dari Dubai, hiduplah suku penyendiri yang secara budaya tidak berhubungan dengan suku lain di Jazirah Arab. Namun mungkin saja merupakan penduduk aslinya. Mereka adalah Shihuh, 'orang-orang bukit'.

Menurut Paolo Costa, mantan kepala Departemen Kepurbakalaan Oman, Shihuh adalah sebuah misteri. “Mereka adalah orang-orang yang paling luar biasa,” kata Costa, seperti dikutip dari Ancient Origins.

“Secara etnis, kami tidak tahu siapa mereka. Ada spekulasi bahwa mereka adalah penduduk asli Arab,” terdesak ke pegunungan oleh invasi Muslim dan Portugis secara berturut-turut.

Semenanjung Arab selatan telah mengalami invasi dan kolonisasi oleh kelompok-kelompok yang berbeda. Dimulai 150.000 tahun yang lalu ketika umat manusia pertama kali datang 'keluar dari Afrika' dan menyeberang ke Arab, dan berlanjut hingga saat ini dengan Yaman, Saudi, Persia , Portugis dan akhirnya Inggris.

Kolonisasi berakhir dengan kemerdekaan Oman pada tahun 1749 dan Uni Emirat Arab pada tahun 1971. Jadi, dengan sejarah invasi dan kontra-invasi itu, mencari tahu siapa yang pertama kali berada di sana tidaklah mudah.

Musandam, bagaikan jari tengah Semenanjung Arab yang menjorok ke arah Iran, selalu terlalu kasar untuk mudah diserang dan orang-orangnya memiliki reputasi permusuhan terhadap pengunjung. Akibatnya, sebagian besar penduduknya terisolasi dari bagian selatan Arabia lainnya.

Selama Perang Dunia II, misalnya, ketika seorang pengebom hilang di wilayah itu, pergi ke Musandam untuk mencarinya dianggap terlalu berbahaya. Hari ini orang-orang Shihuh tidak lagi membunuh pengunjung, tetapi mereka juga tidak menyambut mereka.

Bahkan masuk ke daerah itu sulit sampai baru-baru ini, karena sebelum tahun 1970-an tidak ada jalan ke pedalaman. Banyak daerah suku Shihuh dibatasi oleh tebing-tebing curam, yang membuat orang-orang Shihuh membangun beberapa tangga tebing yang luar biasa untuk mencapai desa mereka.

Banyak tangga itu hanya selebar satu kaki dengan sudut 45 hingga 60 derajat di atas permukaan tebing yang hampir vertikal, dengan celah yang ditutupi oleh jembatan buatan tangan dari batu rumit yang ditahan hanya oleh gravitasi. Kondisi tangga tebing ini dijelaskan oleh sebuah buku panduan sebagai "pendakian delapan hingga 12 jam yang sangat, sangat serius yang tidak boleh dilakukan oleh pemula".

Suku Shihuh secara budaya dan bahasa berbeda dari tetangga Arab mereka di UEA dan Oman. Tidak seperti suku Badui yang berasal dari kebanyakan orang Arab di UEA, suku Shihuh bukanlah pengembara nomaden di gurun, melainkan petani.

Di ketinggian benteng gunung mereka, mereka telah menciptakan struktur pertaninan yang mengesankan dari bidang bertingkat tinggi yang mengikuti kontur tanah, dan juga sistem pengumpulan dan penyimpanan air yang canggih, dengan parit-parit.

Dari ladang yang dijaga ketat ini mereka memanen dua hasil panen setahun, tetapi mereka juga melengkapinya dengan memancing di bulan-bulan musim panas. Migrasi tahunan dari gunung ke pantai ini menghasilkan fitur lain yang membedakan suku Shihuh.

Suku Shihuh memiliki dua wilayah kesukuan dan dua rumah: desa pegunungan mereka dengan rumah batu berlantai satu yang dikenal sebagai bait al qufl (artinya 'rumah gua'), dan desa nelayan mereka, struktur yang kurang permanen dibangun dari karang dan daun palem atau arish.

Secara linguistik sering dikatakan bahwa suku Shihuh berbicara dalam bahasa yang tidak berhubungan dengan bahasa lain, tetapi sebenarnya tidak demikian. Meskipun bahasa mereka sering tidak dapat dipahami oleh orang Arab Teluk pesisir lainnya, bahasa itu sebenarnya adalah dialek bahasa Arab, yang berkembang dengan caranya sendiri melalui isolasi selama ratusan tahun.

Perbedaan menarik lainnya adalah pakaian adat Shihuh. Alih-alih tutup kepala ghutra putih yang dikenakan oleh orang Arab Teluk, orang-orang Shihuh lebih menyukai tutup kepala berwarna yang lebih umum terlihat lebih jauh ke selatan di Oman dan Yaman.

Baca Juga: Manusia-Manusia Berkulit Biru yang Terisolasi Akibat Diskriminasi

Baca Juga: Layaknya Zombie, Suku Filipina Kuno Pesta Makan Otak Manusia

Baca Juga: Jejak Majapahit di Bromo: Suku Tengger dan Kehidupan Sosial-Budayanya 

Perbedaan lainnya, orang Badui Arab membawa pisau melengkung seremonial yang dikenal sebagai khanjar. Adapun orang Shihuh memiliki kapak bergagang panjang yang mereka sebut a jerz. Alat ini kerap dibandingkan dengan kapak Zaman Batu dan menimbulkan spekulasi bahwa orang Shihuh mungkin semacam orang prasejarah.

Jadi dari mana orang-orang yang relatif terisolasi dan berbeda ini berasal? Tradisi mereka sendiri mengatakan bahwa orang Shihuh datang ke Arabia dalam gelombang besar imigrasi yang membawa sekelompok suku Arab di bawah Malik bin Fahm dari Yaman ke Arabia tenggara pada abad kedua Masehi.

Namun, tidak ada bukti kuat soal klaim tradisi itu, misalnya Nama keluarga Yaman mereka. Selain itu, analisis linguistik tidak menunjukkan tanda-tanda pengaruh dari Iran atau Baluchistan atau negara-negara di sebelah timur Teluk Oman pada suku Shihuh.

Penemuan arkeologi justru menunjukkan bahwa beberapa gelombang pertama orang yang datang 'keluar dari Afrika' memasuki Musandam melalui Yaman dan Oman. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya kapak batu tidak jauh di Jebel Faya.

Jadi apakah suku Shihuh adalah keturunan dari orang-orang Afrika itu? Misteri ini belum benar-benar bisa terjawab sampai adanya studi genetik terhadah orang-orang misterius yang terisolasi itu.