Nationalgeographic.co.id—Untuk pertama kalinya, para peneliti menghitung secara akurat jejak karbon dari pupuk yang telah menyumbang 5 persen emisi gas rumah kaca. Mereka menemukan bahwa emisi karbon dapat dikurangi hingga sebanyak 80% pada tahun 2050.
Para peneliti dari University of Cambridge menemukan bahwa dua pertiga emisi dari pupuk terjadi setelah disebarkan di ladang, dengan sepertiga emisi berasal dari proses produksi.
Meskipun pupuk berbasis nitrogen telah diketahui sebagai sumber utama emisi gas rumah kaca, ini adalah pertama kalinya kontribusi mereka secara keseluruhan, mulai dari produksi hingga penerapan, telah dihitung sepenuhnya.
Analisis mereka menemukan bahwa pupuk kandang dan pupuk sintetis mengeluarkan setara dengan 2,6 gigaton karbon per tahun, lebih dari gabungan penerbangan dan pelayaran global.
Emisi karbon dari pupuk perlu segera dikurangi. Namun, ini harus diimbangi dengan kebutuhan akan ketahanan pangan global.
Penelitian sebelumnya memperkirakan bahwa 48% dari populasi global diberi makan dengan tanaman yang ditanam dengan pupuk sintetis, dan populasi dunia diperkirakan akan tumbuh sebesar 20% hingga tahun 2050.
Para peneliti Cambridge mengatakan bahwa kombinasi solusi teknologi dan kebijakan yang terukur diperlukan untuk mengurangi emisi pupuk sekaligus menjaga ketahanan pangan.
Namun, mereka memperkirakan bahwa jika solusi semacam itu dapat diterapkan dalam skala besar, emisi dari pupuk kandang dan pupuk sintetis dapat dikurangi tanpa kehilangan produktivitas. Hasilnya dilaporkan dalam jurnal Nature Food.
“Hebatnya, kita sebenarnya tidak tahu berapa banyak bahan kimia yang kita produksi secara global, di mana mereka berakhir, di mana dan bagaimana mereka terakumulasi, berapa banyak emisi yang mereka hasilkan, dan berapa banyak limbah yang mereka hasilkan,” kata rekan penulis André Cabrera Serrenho dari Departemen Teknik Cambridge.
“Untuk mengurangi emisi, penting bagi kami untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan setiap intervensi yang dapat kami lakukan untuk membuat pupuk tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.” kata Serrenho.
Namun, katanya, jika kita akan melakukannya, pertama-tama kita harus memiliki gambaran yang jelas tentang keseluruhan siklus hidup produk ini.