2.000 Tahun Berkuasa, Apa Penyebab Jatuhnya Kekaisaran Tiongkok?

By Sysilia Tanhati, Selasa, 28 Februari 2023 | 13:00 WIB
Pada abad ke-19, berbagai masalah muncul dan menjadi penyebab jatuhnya Kekaisaran Tiongkok yang berkuasa selama lebih dari 2.000 tahun. (Jessica Rawson)

Nationalgeographic.co.id—Dinasti-dinasti kuat Kekaisaran Tiongkok tidak dapat ditembus oleh pengaruh luar selama 2.000 tahun. Namun pada abad ke-19, berbagai masalah muncul dan menjadi penyebab jatuhnya Kekaisaran Tiongkok yang jaya. Ini terjadi ketika kekaisaran gagal melakukan reformasi dan modernisasi.

Sistem kekaisaran runtuh pada awal abad ke-20. Kota Terlarang, yang telah menjadi rumah bagi kaisar sejak 1420, diserahkan kepada publik dan diubah menjadi Museum Istana.

Jatuhnya Dinasti Qing menandai akhir dari sejarah panjang Kekaisaran Tiongkok

Jatuhnya Dinasti terakhir Tiongkok pada tahun 1911–1912 menandai akhir dari sejarah kekaisaran yang sangat panjang. Sejarah itu terbentang setidaknya sejak 221 Sebelum Masehi ketika Qin Shi Huangdi pertama kali menyatukan Tiongkok menjadi satu kekaisaran.

Selama sebagian besar waktu itu, Kekaisaran Tiongkok adalah satu-satunya negara adidaya yang tak terkalahkan di Asia Timur. Namun, setelah lebih dari 2.000 tahun, kekuatan kekaisaran Tiongkok di bawah dinasti Tiongkok terakhir akan runtuh untuk selamanya.

Penguasa etnis Manchu dari Dinasti Qing memerintah Kekaisaran Tiongkok mulai tahun 1644 M hingga tahun 1912. “Pemerintahan mereka dimulai sejak mengalahkan penguasa Dinasti Ming yang terakhir,” tutur Kallie Szczepanski di laman Thoughtco.

Apa yang menyebabkan runtuhnya kekaisaran yang dulunya perkasa ini sehingga mengantarkan era modern di Tiongkok?

“Runtuhnya Dinasti Qing adalah proses yang panjang dan rumit,” kata Szczepanski. Kekuasaan Qing berangsur-angsur runtuh selama paruh kedua abad ke-19 dan tahun-tahun awal abad ke-20. Ini disebabkan karena interaksi yang rumit antara faktor internal dan eksternal.

Dinasti Qing yang tidak berbaur dengan orang lokal dan masuknya pengaruh asing

Qing berasal dari Manchuria dan mendirikan dinasti mereka sebagai kekuatan penakluk dinasti Ming oleh orang luar non-Tionghoa.

Sebagai penguasa, Qing mempertahankan identitasnya selama 268 tahun masa pemerintahan mereka. Secara khusus, kekaisaran memisahkan diri dari rakyatnya dalam karakteristik agama, bahasa, ritual, dan sosial tertentu. Semuanya ini menampilkan diri mereka sebagai penakluk luar.

Pemberontakan sosial melawan Qing dimulai dengan pemberontakan Teratai Putih pada tahun 1796–1820. Qing melarang pertanian di wilayah utara. Namun pengenalan tanaman dunia baru seperti kentang dan jagung membuka pertanian dataran wilayah utara.

Pada saat yang sama, teknologi untuk mengobati penyakit menular, penggunaan pupuk dan irigasi yang ekstensif juga diimpor dari Barat.

Pemberontakan Teratai Putih

Sebagai hasil dari peningkatan teknologi tersebut, populasi meledak. Jumlah penduduk meningkat dari 178 juta pada tahun 1749 menjadi hampir 359 juta pada tahun 1811. Dan pada tahun 1851, populasi bahkan mendekati 432 juta orang.

Awalnya, petani di daerah yang berdekatan dengan Mongolia bekerja untuk orang Mongol. Namun akhirnya, orang-orang di provinsi Hubei dan Hunan yang terlalu padat mengalir keluar dan masuk ke wilayah. Segera pendatang baru mulai melebihi jumlah penduduk asli dan terjadi konflik atas kepemimpinan lokal.

Pemberontakan Teratai Putih dimulai ketika sekelompok besar orang Tionghoa melakukan kerusuhan pada tahun 1794. Akhirnya, pemberontakan tersebut ditumpas oleh elite Qing. Tetapi organisasi Teratai Putih tetap ada dan menjadi pelopor penggulingan Dinasti Qing nantinya.

Pemberontakan ini menandai titik balik dalam sejarah Dinasti Qing. Kekuasaan Qing melemah dan kemakmuran berkurang pada abad ke-19.

Salah perhitungan saat bernegosiasi dengan pihak asing

Faktor utama lain yang berkontribusi terhadap kejatuhan Dinasti Qing adalah imperialisme Eropa. Selain itu juga terjadi kesalahan perhitungan yang parah atas kekuasaan dan kekejaman Inggris.

Pada pertengahan abad ke-19, Dinasti Qing telah berkuasa selama lebih dari satu abad. Para elite merasa memiliki mandat surgawi untuk tetap berkuasa. Salah satu alat yang mereka gunakan untuk tetap berkuasa adalah pembatasan perdagangan yang sangat ketat. Qing percaya bahwa cara untuk menghindari kesalahan pemberontakan Teratai Putih adalah dengan menekan pengaruh asing.

Inggris di bawah Ratu Victoria adalah pasar besar untuk teh dari Tiongkok. Namun, Qing menolak untuk terlibat dalam negosiasi perdagangan, malah menuntut Inggris membayar teh dengan emas dan perak.

Sebaliknya, Inggris memulai perdagangan opium ilegal yang menguntungkan, dibawa dari India ke Kanton. Otoritas Tiongkok membakar 20.000 bal opium dan Inggris membalas dengan invasi dahsyat ke daratan Tiongkok. Pertempuran itu dikenal dengan sebutan Perang Candu yang berlangsung dua kali, tahun 1839–1842 dan 1856–1860.

Tidak siap menghadapi serangan Inggris, Dinasti Qing kalah. Akibatnya, Inggris memberlakukan perjanjian yang tidak setara dan menguasai wilayah Hong Kong. Seakan masih belum cukup, kekaisaran juga harus membayar jutaan pound perak untuk mengompensasi Inggris atas opium yang hilang.

Penghinaan ini menunjukkan kepada semua rakyat dan dunia bahwa Kekaisaran Tiongkok yang dulu perkasa sudah melemah.

Pemberontakan Boxer

Di Tiongkok, perbedaan pendapat tumbuh dan kekaisaran bak digerogoti dari dalam. Orang Tionghoa Han memiliki sedikit kesetiaan pada penguasa Qing. Di saat yang sama, Qing juga masih menampilkan diri sebagai penakluk Manchu dari utara.

Bencana Perang Candu tampaknya membuktikan bahwa penguasa dinasti asing telah kehilangan Mandat Surga dan perlu digulingkan.

Sebagai tanggapan, Ibu Suri Cixi menekan keras para reformis. Alih-alih mengikuti jalan Restorasi Meiji Jepang dan memodernisasi kekaisaran, Cixi membersihkan istananya dari modernisasi.

Baca Juga: Kisah Xian, 'Kaisar Boneka' di Masa Kemunduran Dinasti Han Tiongkok

Baca Juga: Kasim dan Misteri Yoghurt yang Hampir Mengakhiri Kekaisaran Tiongkok

Baca Juga: Zhang Qian, Diplomat Kekaisaran Tiongkok yang Jadi Pelopor Jalur Sutra

Baca Juga: Kisah Kaisar Tiongkok Yongle Membawa Kekaisaran ke Panggung Dunia 

Ketika para petani melancarkan gerakan besar anti-asing pada tahun 1900, yang disebut Pemberontakan Boxer, mereka awalnya menentang keluarga penguasa Qing. Selain itu, petani yang memberontak juga menentang kekuatan Eropa dan Jepang.

Namun pada akhirnya, tentara Qing dan para petani Bersatu. Namun mereka tidak mampu mengalahkan kekuatan asing. Ini menandai awal dari akhir Dinasti Qing.

Kelemahan yang makin parah

Dengan terungkapnya kelemahannya, Kekaisaran Tiongkok mulai kehilangan kekuasaan atas wilayah pinggirannya. Prancis merebut Asia Tenggara, menciptakan koloninya di Indochina Prancis. Jepang merebut Taiwan, mengambil kendali efektif atas Korea (sebelumnya anak sungai Tiongkok). Di saat yang sama, Jepang memberlakukan tuntutan perdagangan yang tidak setara dalam Perjanjian Shimonoseki tahun 1895.

Pada tahun 1900, kekuatan asing termasuk Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Jepang membentuk "lingkup pengaruh" di sepanjang wilayah pesisir Tiongkok. Di sana kekuatan asing pada dasarnya mengendalikan perdagangan dan militer, meskipun secara teknis mereka tetap menjadi bagian dari Qing. Keseimbangan kekuasaan telah menjauh dari istana kekaisaran dan menuju kekuatan asing.

Hari-hari terakhir dari dinasti terakhir

Pemimpin pemberontak yang kuat mulai berdampak besar pada kemampuan Qing untuk memerintah.

Rakyat mulai secara terbuka menyerukan penggulingan dinasti dan menggantinya dengan aturan konstitusional. Sun Yat-Sen muncul sebagai revolusioner "profesional" pertama Tiongkok. Ia mendapatkan reputasi internasional setelah diculik oleh agen Qing di Kedutaan Besar Tiongkok di London pada tahun 1896.

Kaisar terakhir, Puyi yang berusia 6 tahun, secara resmi turun takhta pada 12 Februari 1912. Ini mengakhiri tidak hanya dinasti Qing tetapi juga era kekaisaran Tiongkok selama ribuan tahun. (Wikipedia)

Salah satu tanggapan Qing adalah menekan kata "revolusi" dengan melarangnya dari buku teks sejarah dunia mereka.

Dinasti Qing yang lumpuh mempertahankan kekuasaan selama satu dekade lagi di balik tembok Kota Terlarang. Namun Pemberontakan Wuchang tahun 1911 memberikan paku terakhir di peti mati. Saat itu 18 provinsi memilih untuk memisahkan diri dari Dinasti Qing.

Kaisar Tiongkok yang terakhir, Puyi yang berusia 6 tahun, secara resmi turun takhta pada 12 Februari 1912. Ini mengakhiri tidak hanya Dinasti Qing tetapi juga era kekaisaran Tiongkok selama ribuan tahun. Sun Yat-Sen terpilih sebagai presiden pertama Tiongkok dan era republik telah dimulai.