Nationalgeographic.co.id—Pada puncaknya pada tahun 1500-an, Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah adalah salah satu kekuatan militer dan ekonomi terbesar di dunia. Kekuasaan ini mengendalikan bentangan yang tidak hanya mencakup pangkalannya di Asia Kecil tetapi juga sebagian besar Eropa tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
Kekaisaran Ottoman menguasai wilayah yang membentang dari Danube ke Sungai Nil. Mereka punya militer yang kuat, perdagangan yang menguntungkan, dan pencapaian yang mengesankan di berbagai bidang mulai dari arsitektur hingga astronomi.
Namun kekuasaan itu tidak bertahan lama. Meskipun Kesultanan Utsmaniyah bertahan selama 600 tahun, mereka menyerah pada apa yang digambarkan sebagian besar sejarawan sebagai kemunduran yang lambat dan panjang, meskipun ada upaya untuk memodernisasi.
Akhirnya, setelah berperang di pihak Jerman dalam Perang Dunia I dan menderita kekalahan, kekaisaran ini dibubarkan berdasarkan perjanjian dan berakhir pada tahun 1922.
1922 adalah tahun ketika Sultan Utsmaniyah terakhir, Mehmed VI, digulingkan dan meninggalkan ibu kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) dengan kapal perang Inggris. Dari sisa-sisa kekaisaran Ottoman muncullah negara modern Turki.
Apa yang menyebabkan runtuhnya Kekaisaran Ottoman yang dulu menakjubkan? Para sejarawan tidak setuju sepenuhnya, tetapi di bawah ini adalah beberapa faktor di antaranya.
1. Terlalu agraris
Sementara revolusi industri melanda Eropa pada tahun 1700-an dan 1800-an, ekonomi Utsmaniyah tetap bergantung pada pertanian. Kekaisaran tidak memiliki pabrik dan mesin penggilingan untuk mengimbangi Inggris Raya, Prancis, dan bahkan Rusia, menurut Michael A. Reynolds, seorang profesor Kajian Timur Dekat di Princeton University. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi kekaisaran lemah, dan surplus pertanian yang dihasilkannya digunakan untuk membayar pinjaman kepada kreditor Eropa.
Ketika tiba saatnya untuk berperang dalam Perang Dunia I, Kesultanan Utsmaniyah tidak memiliki kekuatan industri untuk memproduksi persenjataan berat, amunisi, serta besi dan baja yang dibutuhkan untuk membangun rel kereta api guna mendukung upaya perang.
2. Tidak cukup kohesif
Pada puncaknya, kekaisaran Ottoman meliputi Bulgaria, Mesir, Yunani, Hungaria, Yordania, Lebanon, Israel dan wilayah Palestina, Makedonia, Rumania, Suriah, sebagian Arab, dan pantai utara Afrika.
Bahkan jika kekuatan luar pada akhirnya tidak merusak kekaisaran, Reynolds tidak berpikir bahwa wilayah itu bisa tetap utuh dan berkembang menjadi negara demokratis modern.