“Kemungkinan besar akan menentangnya, karena keragaman yang luar biasa dari kekaisaran dalam hal etnis, bahasa, ekonomi, dan geografi,” kata Reynolds, seperti dikutip oleh Patrick J. Kiger untuk History. “Masyarakat homogen lebih mudah mendemokratisasi daripada masyarakat heterogen.”
Berbagai orang yang menjadi bagian dari kekaisaran semakin memberontak, dan pada tahun 1870-an, kekaisaran harus mengizinkan Bulgaria dan negara-negara lain untuk merdeka, dan menyerahkan lebih banyak wilayah lagi.
Setelah kalah dalam Perang Balkan 1912-1913 dari koalisi yang mencakup beberapa bekas jajahan kekaisarannya, kekaisaran terpaksa menyerahkan sisa wilayah Eropanya.
Baca Juga: Puja-puji untuk Ottoman, Kenapa Banyak Orang Mau Kembali ke Era Itu?
Baca Juga: Benarkah Isu Walisanga Sebagai Utusan Ottoman di Tanah Jawa?
Baca Juga: Gempa Bumi Pengguncang Turki: Era Romawi, Ottoman, hingga Republik
3. Penduduknya kurang berpendidikan
Meskipun ada upaya untuk meningkatkan pendidikan pada tahun 1800-an, Kesultanan Utsmaniyah tertinggal jauh dari para pesaingnya di Eropa dalam melek huruf. Akibatnya, pada tahun 1914, diperkirakan hanya antara 5 dan 10 persen penduduknya yang dapat membaca.
“Sumber daya manusia kekaisaran Ottoman, seperti sumber daya alam, relatif belum berkembang,” kata Reynolds. Itu berarti kekaisaran kekurangan perwira militer yang terlatih, insinyur, juru tulis, dokter, dan profesi lainnya.
4. Negara-Negara lain sengaja melemahkannya
Ambisi kekuatan Eropa juga membantu mempercepat kehancuran Kekaisaran Ottoman, jelas Eugene Rogan, direktur Middle East Centre di St. Antony's College, Oxford. Rusia dan Austria sama-sama mendukung kaum nasionalis pemberontak di Balkan untuk memajukan pengaruh mereka sendiri.
Dan Inggris dan Prancis sangat ingin mengukir wilayah yang dikuasai oleh Kekaisaran Ottoman di Timur Tengah dan Afrika Utara.