Nationalgeographic.co.id—Para peneliti yang mempelajari perubahan iklim telah mengamati bagaimana perubahan biologis dan fisik Bumi akibat perubahan iklim akan mengubah produksi pangan dan berdampak pada kesehatan manusia.
Hasil-hasil penelitian mereka disampaikan dalam Climate & Health Meeting, pertemuan yang dihadiri oleh ahli dari berbagai organisasi kesehatan masyarakat, universitas dan kelompok advokasi.
“Perubahan iklim dapat memengaruhi pasokan pangan dunia dalam tiga aspek, yaitu kuantitas, kualitas, dan lokasi,” ujar Sam Myers, seorang doktor dan peneliti senior yang mempelajari kesehatan lingkungan di Harvard T.H. Chan School of Public Health.
Dari segi kuantitas, berbagai studi telah menemukan bahwa kombinasi peningkatan kadar karbon dioksida di atmosfer, kenaikan suhu dan perubahan pola curah hujan dapat berdampak signifikan terhadap penurunan hasil pertanian seperti jagung, padi dan gandum. Dampak ini terutama terjadi di daerah-daerah tropis, yang normalnya memiliki produksi pangan tinggi.
Kenaikan suhu karena perubahan iklim juga cenderung menigkatkan hama tanaman. “Saat ini, hama bertanggung jawab atas kehilangan 25 hingga 40 persen tanaman pangan, dan jika perubahan iklim terus berlanjut, hama-hama ini akan dapat memperluas jangkauan mereka,” ujar Myers.
Serangga juga kemungkinan akan berpindah ke daerah yang sebelumnya tak pernah ditemukan serangga. Akibatnya, tanaman yang tak berevolusi mengembangkan pertahanan diri terhadap serangga pun akan terdampak. Selain itu, predator pemangsa hama seperti burung, mungkin akan mengubah waktu migrasi mereka karena perubahan iklim dan berakibat pada ledakan populasi hama.
Sementara itu, lokasi agrikultur dunia juga akan banyak berubah dan memengaruhi pasokan pangan global. Agrikultur di wilayah-wilayah tropis merupakan yang terkena dampak paling parah dari perubahan iklim. Kenaikan suhu global dan perubahan pola curah hujan membuat para petani semakin sulit bekerja, dan menyebabkan menurunnya produksi pangan.
Sumber makanan lain, seperti ikan, akan menurun kuantitasnya. Kenaikan suhu lautan menyebabkan ikan-ikan di kawasan tropis bergerak ke arah kutub guna mencari tempat yang lebih dingin.
Penurunan produksi pangan di daerah khatulistiwa menimbulkan kekhawatiran, sebab hampir seluruh pertumbuhan populasi manusia dalam 50 tahun ke depan diprediksi akan terjadi di daerah tropis.
“Meskipun daerah-daerah yang terletak di dekat kutub mengalami cuaca yang lebih hangat dan masa tanam yang lebih panjang, perubahan ini tak akan cukup untuk menggantikan produksi makanan yang hilang di kawasan tropis,” ujar Myers.
Selain dua aspek tersebut, kualitas makanan pun juga terpengaruh oleh perubahan iklim. Penelitian menunjukkan, saat tanaman pangan tertentu tumbuh dalam kondisi kadar karbon dioksida tinggi di atmosfer, tanaman-tanaman tersebut kehilangan beberapa nutrisi pentingnya.
Dalam penelitian itu, para ilmuwan mencoba menanam beberapa tanaman pangan, termasuk jagung dan gandum, dalam dua kondisi: kadar karbon dioksida tinggi dan normal. Kondisi karbon dioksida tinggi itu merepresentasikan prediksi kadar karbon dioksida di Bumi dalam 50 tahun mendatang. Mereka menemukan, tanaman yang tumbuh di lingkungan yang karbon dioksidanya tinggi memiliki kadar protein, seng, dan zat besi lebih rendah.
Penurunan nutrisi dalam tanaman pangan dapat memperburuk kekurangan gizi yang kini menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Kekurangan zat besi dan seng kini telah menjadi masalah kesehatan yang cukup besar saat ini. Di masa depan, lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia akan mengalami kekurangan seng, dan lebih dari satu miliar orang yang telah mengalami kekurangan seng akan menjadi lebih parah karena perubahan nutrisi pada tanaman pangan. Para peneliti menemukan dampak yang sama juga akan terjadi pada kasus kekurangan zat besi dan protein.
"Meski demikian, diperlukan lebih banyak penelitian pada tingkat nutrisi tanaman pangan, karena para peneliti belum mengetahui mengapa tingkat karbon dioksida yang tinggi dapat menyebabkan tanaman kehilangan nutrisi," kata Myers.
Myers mengungkapkan bahwa kenaikan tingkat karbon dioksida di Bumi ternyata merusak nilai nutrisi dari tanaman-tanaman pangan yang paling penting di dunia—dan belakangan kerusakan itu semakin buruk.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Enviromental Health Perspectives mengungkapkan kandungan protein beras, gandum, barley, dan kentang menurun antara 6 persen dan 14 persen jika ditanam dalam lingkungan dengan konsentrasi CO2 yang tinggi. Ini bisa memunculkan risiko kekurangan protein pada penduduk dunia.
"Temuan ini mengejutkan," kata Myers kepada NexusMedia. "Jika kita memikirkan ini 15 tahun yang lalu dan mencoba mengantisipasi dampak kesehatan akibat emisi CO2, kita mungkin tidak mendapati bahwa makanan kita akan menjadi kurang bergizi," tambah dia.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Memburuknya Pasokan Pangan, Rasa dan Racun
Baca Juga: Sains Terbaru: Tinjauan Agar Industri Pasokan Pangan Berkelanjutan
Baca Juga: 2050 hingga 2100, Kita Kekurangan Kopi dan Pasokan Pangan Bergizi
Baca Juga: Mengapa Banyak Orang Masih Belum Peduli dengan Perubahan Iklim?
Sedikitnya ada 18 negara yang berisiko kehilangan lebih dari 5 persen protein makanan mereka pada tahun 2050 jika level CO2 terus meningkat. "Itu akan menambahkan 150 juta orang lainnya bersama ratusan juta orang yang sudah menderita kekurangan protein," kata Myers.
Kekurangan zat besi, yang sudah terjadi di banyak tempat di dunia, juga diprediksi akan menjadi isu yang jauh lebih besar. Menurut studi pendukung dari GeoHealth, lebih dari 1 miliar wanita pada masa subur dan 354 juta anak di bawah usia 5 tahun diperkirakan kehilangan 4 persen zat besi akibat kenaikan kadar CO2. Sebagian besar populasi yang berisiko itu tinggal di Asia Selatan dan Afrika Utara.
Menurut dia hal ini berkaitan dengan masalah keadilan. "Orang-orang yang bertanggung jawab atas meningkatnya emisi CO2 mencerminkan gambaran orang-orang yang akan menderita. Negara yang lebih kaya menghasilkan CO2 sedangkan negara dengan orang-orang paling miskin menanggung akibatnya."
Penemuan-penemuan itu menggambarkan bagaimana dampak-dampak perubahan iklim masih tetap mengejutkan, bahkan di kalangan ilmuwan sekalipun. "Tak sekali pun kami menduga bahwa salah satu dampak perubahan iklim dapat membuat tanaman kehilangan nutrisinya. Tidak ada yang kita lakukan untuk mengantisipasinya," ujar Myers.