"Bagi kami, ini berarti ada keuntungan selektif bagi individu yang memiliki varian pelindung ini, karena individu tersebut lebih mungkin bertahan dari infeksi dan bereproduksi, menyebabkan varian tersebut meningkat frekuensinya," terang Wroblewski.
Baca Juga: Dunia Hewan: Perilaku Baru Berburu dan Makan Ikan pada Kera Jepang
Baca Juga: Mengapa Manusia Bisa Tak Punya Ekor? Begini Penjelasan Sains
Baca Juga: Fosil Owa Berusia 7,5 Juta Tahun dan Kesenjangan Sejarah Evolusi Kera
Baca Juga: Sama-sama Kerajaan Hewan, Apa yang Membuat Spesies Manusia Unik?
"Melihat populasi yang terinfeksi berbeda dari populasi yang tidak terinfeksi dalam sifat kekebalan ini menunjukkan bahwa itu karena bonobo mengalami peningkatan kematian atau biaya keberhasilan reproduksi mereka karena infeksi mereka," lanjutnya.
"Perbedaan antara populasi bonobo memberikan bukti pertama dalam bentuk apa pun, meskipun tidak langsung, bahwa kera besar liar menderita akibat apa pun dari infeksi mereka."
Beatrice Hahn, rekan penulis dari University of Pennsylvania, AS telah mendokumentasikan pola infeksi malaria pada kera besar. Penelitiannya yang sebelumnya, menegaskan bahwa parasit malaria manusia yang paling mematikan, melompat dari gorila.
“Memahami riwayat alami dan pola penularan malaria pada kerabat terdekat kita sangat penting untuk mengukur penularan di masa depan,” kata Hahn.
Wroblewski menambahkan, penelitian terkait pola imunogenetik pada bonobo yang terinfeksi malaria sangat mirip dengan apa yang diamati pada populasi manusia.
“Hal ini penting karena gen kekebalan ini berkembang sangat cepat saat mencoba mengikuti patogen yang berkembang pesat,” tambahnya. "Karena itu, sangat tidak biasa untuk mengamati pola yang dimiliki bersama antara manusia dan kerabat terdekatnya."