Nationalgeographic.co.id—Manusia suka mencari tahu bagaimana asal-usul mereka. Tidak hanya Anda dengan mencari leluhur keluarga saja, sudah sejak lama kita menulis tentang kita sendiri dalam sebuah karya. Kitab suci mengatakan bahwa manusia dibentuk dari tanah oleh Tuhan, dan Charles Darwin menjelaskan bahwa leluhur kita adalah 'mirip kera' yang berevolusi.
Kesenangan kita menjelaskan asal-usul manusia pun masuk di karya sastra. Avatar the Legend of Aang dan the Legend of Korra menyebut manusia 'merangkak' dari tanah. Kelompok manusia terpecah tinggal di atas cangkang kura-kura raksasa yang mengajarkan elemen api, air, tanah, dan udara untuk melindungi diri. Manusia jadi makhluk yang mengontrol kehidupan Bumi dengan elemennya setelah konvergensi harmonik pertama.
Sementara J.R.R Tolkien dalam Silmarillion sebagai awal cerita Lord of the Rings, mengisahkan manusia diciptakan setelah elf dan kurcaci diciptakan Eru Ilúvatar--dewa tertinggi Arda. Manusia adalah makhluk yang paling rapuh dan berusia pendek dibandingkan elf dan kurcaci yang mencapai ribuan tahun.
Manusia setelah diciptakan secara 'ajaib' di belahan timur Bumi, kemudian bermigrasi ke barat di Middle-earth. Rombongan mereka terpecah dalam perjalanan, sehingga menyebar. Mereka mendapatkan pengetahuan setelah diajarkan oleh para elf. Kemudian, beberapa zaman berikutnya, mereka punya kendali Bumi setelah tugas para elf selesai di Middle-Earth.
Semuanya mengisahkan bagaimana manusia punya tanggung jawab untuk mengelola Bumi. Tanggung jawab itu diberikan oleh pemahaman ilahiah mereka. Seolah, manusia berbeda dengan hewan-hewan lainnya di Bumi yang terkadang dieksploitasi mereka juga.
Padahal, secara taksonomi biologi, kita termasuk kerajaan hewan. Charles Darwin juga setuju dengan asal-usul kita yang sebenarnya adalah hewan. Lewat The Descent of Man, Darwin menulis manusia adalah hewan dengan akal seperti dewa.
Proses makhluk kera botak ini bisa berkuasa, punya cerita panjang dari 'mirip kera' menjadi tubuh yang kita kenal hari ini. Perjalanannya membutuhkan ribuan hingga jutaan tahun oleh kemampuan adaptasi menghadapi iklim, dan seleksi alam. Itu sebabnya, kita tidak menyadari bahwa sebenarnya evolusi sedang berjalan sampai saat ini.
"Jawaban atas pertanyaan mengapa kita tampak begitu berbeda dari hewan lain adalah bahwa semua spesies yang berkerabat dekat telah punah," kata Thomas Suddendorf. Dia adalah profesor psikologi kognitif anak-anak dan primata non-manusia di University of Queensland, Australia.
"Kita adalah manusia terakhir," lanjutnya di NewScientist. Artinya, ada spesies seperti kita (Homo) tetapi tidak bisa bertahan sehebat kita. Bisa jadi karena kita yang memusnahkan mereka di masa purba. Sehingga yang tersisa untuk memahami asal-usul kita adalah primata non-manusia.
Sebuah studi tahun 2005 di Genome Research mengungkap, manusia diduga nenek moyang jauhnya adalah kera yang memanjat pohon. Akan tetapi, genom kita hanya empat persen berbeda dari kebanyakan simpanse.
Source | : | National Geographic Indonesia,Newscientist.com |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR