Inisasi kawasan ini telah dirintis sejak tiga tahun silam, ketika Gubernur Papua meratifikasi perairan Pulau Kolepom sebagai kawasan konservasi perairan untuk melindungi habitat penting perikanan demersal dan spesies dilindungi di pulau ini.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua, Iman Djuniawal, menjelaskan bahwa penetapan ini merupakan proses panjang yang telah diupayakan secara kolaboratif. Gugus tugas ini dipimpin oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Papua dan didukung oleh unit kerja KKP; universitas setempat; perwakilan tokoh masyarakat dari tiga kabupaten: Kimaam, Waan dan Tabonji; dan proyek Arafura and Timor Seas Ecosystem Action fase 2 (ATSEA-2).
“Kawasan konservasi ini memiliki beragam fungsi penting. Mulai dari menata pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan melalui perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, hingga membatasi kegiatan yang merusak ekosistem dan biota yang ada di dalamnya,” papar Iman.
Menurutnya, kawasan konservasi akan meningkatkan potensi ekonomi, budaya, wisata, dan sumber daya alam lainnya yang secara langsung pun akan meningkatkan perekonomi dan taraf hidup masyarakat di sekeliling kawasan.
“Penetapan ini juga akan menata pemanfaatan gelembung ikan yang menjadi primadona, aktivitas penangkapan ikan dan udang, pemanfaatan mangrove serta menata habitat, ekosistem, spesies ikan, dan sumber daya alam lainnya," demikian ujar Iman. "Sehingga harapannya, pengelolaan kawasan konservasi oleh pemprov Papua Selatan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”
Leluhur orang Kolepom
"Orang-orang Kimaam selama berabad-abad hidup dalam kondisi yang unik, yaitu di tengah-tengah air dan daerah berlumpur," tulis Izak Resubun. "Mereka harus membuat pulau sebelum membangun rumah dan kebun."
Pemaparan itu merupakan bagian penelitiannya yang bertajuk "Beberapa Data Etnografis Manusia dan Pulau Kimaam, di Pantai Selatan Papua", yang terbit di Limen, Jurnal Agama dan Kebudayaan, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur di Jayapura.
Resubun menambahkan, "Penduduk asli ini telah dipindahkan oleh bekas pemerintah kolonial Belanda dan Gereja Katolik, setelah menunggu cukup lama, ke tanah yang lebih tinggi di sepanjang jalan Marianna."
Laman Direktori Pulau-pulau Kecil Indonesia yang dihimpun Kementerian Kelautan dan Perikanan menjelaskan, semenjak ajakan ke daratan oleh misionaris itulah masyarakat berpindah dari rawa ke daratan. Kemudian mereka membangun Kampung Kimaam. Toponiminya merujuk pada khima-khima, bahasa adat setempat yang berarti tempat persinggahan.
Menurut catatan Resubun, penghuni pulau ini dijuluki Bob Anim oleh orang Marind, yang berarti orang lumpur, atau juga dinamai Kolepom Anim, orang Kolepom.