Peternak Negara Berkembang Merugi karena Konflik dengan Satwa Liar

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 27 Februari 2023 | 18:00 WIB
Peternak sapi di negara berkembang lebih merugi daripada di negara maju. Hal itu disebabkan konflik dengan satwa liar karnivora. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Perubahan lahan untuk aktivitas manusia, merugikan manusia itu sendiri. Sebab, perubahan fungsi lahan dari hutan, menjadi sumber makanan seperti sawah dan peternakan, menyebabkan konflik manusia dan satwa liar.

Sebuah penelitian di Communications Biology yang terbit Kamis, 23 Februari mengungkapkan temuan bahwa peternak sapi di negara-negara berkembang, lebih rentan secara ekonomi daripada negara-negara maju. Hal itu disebabkan konflik manusia dan satwa liar.

Negara berkembang seperti Kenya, Uganda, dan India, adalah rumah bagi satwa karnivora. Penelitian bertajuk "The unequal burden of human-wildlife conflict" menelisik pendapatan ekonomi dan lingkungan itu dengan pengamatan terhadap 133 negara yang menjadi tempat 18 karnivora berada.

"Bagi sebagian besar petani," kata Duan Biggs, rekan penulis studi dari Northern Arizona University’s School of Earth and Sustainability, "berternak merupakan kunci—jika bukan satu-satunya—sumber pendapatan mereka."

Kehadiran satwa liar di peternakan akan memangsa hewan ternak. Kerapnya hewan ternak yang dimangsa, menyebabkan peternak atau petani mengalami kerugian secara finansial. Pada akhirnya, tim peneliti menulis, bisa berdampak pada ketahanan pangan suatu negara.

Hasil temuan mengungkapkan bahwa 82 persen wilayah jelajah karnivora di negara-negara berkembang, berada di luar kawasan lindung. Lima jenis karnovira yang status konservasinya terancam, lebih dari sepertiga wilayah jelajahnya justru berada di wilayah konflik yang paling sensitif secara ekonomi.

Namun yang juga harus diperhatikan adalah para petani yang sering kehilangan ternaknya. Penulis utama makalah Alex Braczkowski dari Centre for Planetary Health and Food Security, Griffith University, Australia, menjelaskan bahwa mereka menanggung beban eonomi dan rumah tangga besar.

Penelitian ini mengungkapkan kesenjangan antara negara-negara berkembang dan maju dalam permasalahan perlindungan habitat. Braczkowski mengatakan, perkembangan ekonomi dari negara dunia berkembang harus membayar harga terbesar untuk konservasi. Semua dilakukan untuk melindungi satwa liar endemiknya.

"Tetapi dalam kasus ini, daripada melindungi hutan dan menyediakan lingkungan penyeimbang bagi pencemar besar, seringkali merekalah (petani dan peternak) yang membayar harga untuk berdampingan dengan spesies seperti singa atau harimau afrika--spesies yang paling disukai dan ingin dilihat oleh sebagian besar dunia agar dilestarikan," terang Braczkowski di Eurekalert.

Rata-rata persentase kehilangan pendapatan per kapita tahunan yang tercatat di kisaran 18 satwa liar karnivora besar secara global dalam satu peristiwa pemangsaan sapi ternak. (Alexander R. Braczkowski et al (2023))

Masalah konflik satwa liar dan manusia semakin diperparah di negara berkembang, karena pemeliharan hewan ternak menghasilkan rata-rata 3 persen lebih sedikit daging sapi per hewan daripada negara maju, ungkap para peneliti.

Di daerah berpenghasilan rendah, kehilangan seekor sapi saja bisa merugikan ketahanan pangan. Kehilangan seekor sapi atau pejantan, penelitian menunjukkan bahwa dampaknya bisa setara dengan hampir 18 bulan kalori hilang, yang semestinya bisa dikonsumsi bagi seorang anak.