“Penelitian kami menunjukkan urgensi pengembangan mekanisme seperti pembayaran dari daerah perkotaan yang kaya di negara-negara kaya di mana orang ingin predator seperti singa dilestarikan, hingga komunitas pedesaan di negara-negara berkembang yang menanggung biaya dan risiko hidup dengan hewan buas dan berbahaya ini,” lanjut Biggs.
Baca Juga: Memahami Rahasia Gajah dan Satwa Liar Lainnya Lewat Kotorannya
Baca Juga: Wisata Alam dan Mendaki Gunung Berdampak Buruk Terhadap Satwa Liar
Baca Juga: Waspadalah, Perubahan Iklim Memicu Tindak Kekerasan Meningkat
Baca Juga: Perubahan Iklim dan Konflik Menghancurkan Kota Pra Sejarah Mayapan
Biggs juga menerangkan bahwa temuan ini dapat menyoroti permasalahan sosial-ekonomi yang tidak seimbang dari konflik manusia dan satwa liar karnivora.
Harapannya, terang para peneliti, negara-negara dunia bisa memperjuangan berbagai tujuan pembangunan berkelanjutan yang saling bertentangan. Selama ini masalah perlindungan satwa dan perubahan iklim sering bertentangan dengan masalah kemiskinan dan kelaparan.
"Apa yang kami kerjakan membantu menunjukkan bahwa untuk menjadi alam yang sebetul-betulnya positif, kita perlu mempertimbangkan manfaat dan biaya untuk kehidupan alam liar dan bagi manusia," terang Sophie Gilbert, rekan penulis dari Nature Capital Development, AS.
"Serta memastikan bahwa mereka yang menanggung biaya hidup dengan satwa liar didukung dengan lebih baik, secara finansial dan sebaliknya," terangya. "Hanya ketika hidup dengan satwa liar stabil dan layak bagi masyarakat lokal, konservasi makhluk seperti karnivora besar bakal berhasil."