Nationalgeographic.co.id—Puyi dinobatkan sebagai kaisar Tiongkok pada tahun 1908. Saat itu ia berusia 2 tahun 10 bulan. Kurang dari empat tahun “memerintah”, kaisar bocah itu melepaskan takhta pada tahun 1912. Tindakan yang mengejutkan itu mengakhiri kekuasaan Kekaisaran di Tiongkok selama lebih dari 2.100 tahun. Apa yang membuat Puyi, harapan terakhir Kekaisaran Tiongkok, melepaskan takhta kaisar saat itu?
Kaisar balita naik takhta
Puyi menjadi kaisar pada November 1908, setelah kematian paman tirinya, Kaisar Guangxu. Berusia hanya 2 tahun dan 10 bulan, balita yang tidak tahu apa-apa itu secara paksa dikeluarkan dari keluarganya. Ia dibawa ke Kota Terlarang di Beijing oleh prosesi pejabat dan kasim. "Hanya pengasuhnya yang diizinkan bepergian bersamanya sepanjang perjalanan," tulis Sarah Roller di laman History Hit.
Balita itu dimahkotai pada tanggal 2 Desember 1908. Hidup bergelimang harta dan kenyamanan, ia menjadi manja karena setiap keinginannya selalu terwujud. Staf istana tidak dapat mendisiplinkannya karena hierarki kehidupan istana yang kaku. Tidak hanya itu, sang kaisar muda menikmati kasimnya dicambuk dan ditembaki dengan senapan angin.
Ketika Puyi berusia 8 tahun, pengasuhnya terpaksa meninggalkan istana. Saat itu, orang tuanya menjadi orang asing, kunjungan langka mereka dibatasi oleh etiket kekaisaran yang menyesakkan. Sebaliknya, Puyi terpaksa mengunjungi mantan selir yang menjadi ibunya di istana. Ia harus melaporkan semuan kemajuannya dalam belajar.
Kaisar Tiongkok yang terakhir melepaskan takhta
Pada bulan Oktober 1911, garnisun tentara di Wuhan memberontak. Ini memicu pemberontakan yang lebih luas yang menyerukan penghapusan Dinasti Qing. Selama berabad-abad, pemegang kekuasaan Tiongkok memerintah dengan konsep Mandat Surga. Ini melambangkan kekuasaan absolut penguasa sebagai hadiah dari surga atau Tuhan.
Selama Revolusi 1911 atau Revolusi Xinhai, rakyat Tiongkok percaya bahwa Mandat Surga harus ditarik kembali. Kerusuhan menyerukan kebijakan nasionalis dan demokratis atas pemerintahan kekaisaran.
Puyi dipaksa turun takhta sebagai tanggapan terhadap Revolusi 1911 namun ia diizinkan untuk mempertahankan gelarnya. Untuk itu, Puyi diperbolehkan untuk tinggal di istananya, menerima subsidi tahunan dan diperlakukan seperti kaisar atau pejabat asing. Saat itu, Kekaisaran Tiongkok yang berkuasa selama lebih dari 2.000 tahun resmi berakhir.
Rupanya, Ibu Suri Longyu berada di balik pengunduran diri Puyi saat itu.
Apa andil Ibu Suri Longyu dalam pengunduran diri Puyi?
Pemberontakan yang terjadi pada Oktober 1911 membuat Ibu Suri Longyu menjadi melunak. Awalnya, ia setuju untuk diselenggarakannya konferensi antara pihak republik dan kekaisaran. Konferensi tersebut membahas soal masa depan Tiongkok.
Negosiator di kedua sisi memilih bentuk pemerintahan republik dan 14 provinsi mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun mereka memutuskan untuk meminta kekaisaran untuk memutuskan apakah pemerintahan baru akan menjadi republik konstitusional atau monarki konstitusional.
"Pada akhir Desember 1911, Ibu Suri Longyu setuju, dengan demikian mengakhiri Dinasti Qing dan Kekaisaran Tiongkok," tulis Lane J. Harris di bukunya yang berjudul The Peking Gazette.
Pengunduran diri itu resmi mengakhiri Dinasti Manchu Qing yang berusia 268 tahun dan seluruh sistem kekaisaran. Ibu Suri Longyu mengeluarkan tiga dekrit. Yang pertama adalah dekrit formal pelepasan takhta. Dekrit kedua meminta semua pejabat untuk menjaga perdamaian selama dalam transisi. Yang ketiga, memberikan Aisin Gioro Puyi gelar "Kaisar Qing Agung" sampai akhir hidupnya, anuitas empat juta tael, tempat tinggal "sementara" di Kota Terlarang, dan perlindungan atas harta miliknya.
Baca Juga: Kehidupan Tragis Puyi, Kaisar Tiongkok Terakhir Sebagai Tawanan Soviet
Baca Juga: Puyi, Kaisar Tiongkok yang Pertama Kali Belajar Bahasa Inggris
Baca Juga: Puyi, Satu-satunya Kaisar Tiongkok yang Naik Takhta Tiga Kali
Baca Juga: Perjalanan Puyi dari Kaisar Terakhir Tiongkok hingga Jadi Rakyat Biasa
Dekrit turun tahta, yang ditandatangani oleh Ibu Suri Longyu atas nama Kaisar Puyi berbunyi:
"Seluruh kekaisaran cenderung ke arah bentuk pemerintahan republik. Itu Kehendak Surga dan sudah pasti kita tidak bisa menolak keinginan rakyat demi kehormatan dan kemuliaan satu keluarga.
Kami, Kaisar, menyerahkan kedaulatan kepada rakyat. Kami memutuskan bentuk pemerintahan menjadi republik konstitusional.
Pada masa transisi ini, untuk menyatukan Selatan dan Utara, kami menunjuk Yuan Shikai untuk mengatur pemerintahan sementara, berkonsultasi dengan tentara rakyat mengenai penyatuan lima bangsa: Manchu, Han, Mongolia, Mohammedan dan Tibet. Orang-orang ini bersama-sama membentuk negara besar Chung Hwa Ming-Kus (Republik Tiongkok).
Kami sekarang pensiun ke kehidupan yang damai dan akan menikmati perlakuan hormat dari bangsa."
Puyi secara singkat dikembalikan ke takhtanya sebagai bagian dari Restorasi Manchu pada tahun 1919. Namun ia berkuasa hanya selama 12 hari sebelum pasukan republik menggulingkan kaum royalis.
Pada tahun 1924, gelar kekaisaran Puyi dihapuskan dan ia pun menjadi warga negara biasa. Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Puyi menghabiskan sebagian besar sisa masa dewasanya sebagai bidak. "Ia dimanipulasi oleh berbagai kekuatan untuk mengejar tujuan mereka sendiri," ungkap Roller.
Pada tahun 1959, ia bekerja sebagai penyapu jalan di Beijing. Mantan kaisar itu menjadi warga negara tanpa gelar resmi, tunjangan atau penghargaan. Puyi kemudian meninggal pada tahun 1967 karena kanker ginjal dan penyakit jantung.