Nationalgeographic.co.id—Aisin-Gioro Puyi lahir pada 7 Februari 1906. Pada bulan Desember 1908, ia dinobatkan sebagai kaisar Dinasti Qing pada usia dua tahun setelah kematian Kaisar Guangxu. “Kaisar tersebut meninggal tanpa memiliki anak,” tulis Edward Behr di bukunya yang berjudul The Last Emperor.
Menjadi kaisar bukan hal mudah dan menyenangkan. Dari kaisar terakhir Tiongkok, kaisar boneka Jepang, hingga jadi rakyat biasa, Puyi bagai dipermainkan oleh nasib.
Puyi dipisahkan dari keluarganya dan hanya pengasuhnya Wang Lianshou yang diizinkan mengikutinya ke Kota Terlarang (Forbidden City). Rupanya, ia menjadi kaisar di saat yang tidak tepat. Kala itu, Kekaisaran Tiongkok sedang mengalami penurunan. Terbukti, di tahun 1912 Puyi dipaksa untuk melepaskan takhtanya.
Dua kali naik takhta Kekaisaran Tiongkok
Kaisar muda menghabiskan sebagian besar waktunya dengan para kasim, yang melakukan segalanya mulai dari mengajarinya hingga membantu berpakaian. Seiring dengan berjalannya waktu, Puyi muda menyadari kekuasaan yang dimiliki atas para kasim ini.
Dalam otobiografinya, Puyi menceritakan bahwa dia biasa menembak para kasim dengan senapan anginnya. Mantan kaisar itu bahkan pernah memerintahkan kasim untuk memakan kotoran untuk menguji kesetiaannya. Pengasuh Wang adalah satu-satunya orang yang bisa menahan segala kelakuan Puyi.
Ketika Puyi berusia delapan tahun, Ibu Suri Longyu, penguasa de facto dinasti Qing, mengusir Wang dari Kota Terlarang. “Puyi, kabarnya, menangis sampai tertidur setelah pengasuhnya pergi,” kata Behr.
Pada 10 Oktober 1911, kaum revolusioner memimpin pemberontakan bersenjata melawan pemerintah Qing. Pasukan revolusioner menciptakan pemerintahan sementara di Nanjing dan menekan para pemimpin Qing untuk menerima persyaratan turun tahta.
Puyi tidak bisa lagi menjabat sebagai kaisar dan istana kekaisaran harus mencabut kekuasaannya. Namun mereka diizinkan untuk tinggal di Kota Terlarang dan diurus oleh Republik. Mantan kaisar muda itu tidak mengetahui pengunduran dirinya sampai kematian Ibu Suri Longyu pada tahun 1913.
Mantan Perdana Menteri Qing Yuan Shikai, yang menjadi Presiden Republik Tiongkok, mengunjungi Kota Terlarang untuk memberikan penghormatan. Saat itulah Puyi menilai dari sikap Yuan bahwa Yuan memiliki otoritas lebih dari dia. Pada tahun 1915, Yuan menyatakan dirinya sebagai kaisar Tiongkok tetapi turun tahta setelah 83 hari setelah ditentang rakyat. Yuan meninggal pada bulan Juni 1916.
Setelah kematian Yuan Shikai, Tiongkok mulai terpecah menjadi kelompok-kelompok independen yang dipimpin oleh jenderal militer setempat. Ini menandai dimulainya era panglima perang. Pada Juli 1917, panglima perang Zhang Xun, seorang loyalis Qing, mengembalikan Puyi ke takhta untuk kedua kalinya.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR