Nationalgeographic.co.id—Istana Topkapi adalah tempat para sultan tinggal semasa Kekaisaran Ottoman. Meski megah, isinya kebanyakan adalah budak.
Ada hal unik antara para budak dan sistem di dalam Istana, mereka dipaksa untuk belajar dan hanya menggunakan bahasa isyarat. Perintah itu dilakukan semasa Sultan Suleiman I (berkuasa 1520-1566) atau biasa disebut sebagai Sultan Suleiman yang Agung.
Ahli sejarah tentang bahasa isyarat Patricia Raswant mengungkapkan, bahasa isyarat mungkin berarti sebagai sumpah diam para pelayan di Istana. Lewat makalahnya di Ancient Origins, ia menulis bahwa kebiasaan ini sebenarnya diwariskan dari "kebiasaan yang sangat kuno dan tidak ada yang 'baru'".
"Mayoritas budak di Istana Topkapi diambil dari wilayah Kristen yang telah ditaklukkan oleh Kesultanan Ottoman," tulis Raswant yang pernah belajar di bidang kajian dunia Arab di George Mason University. "Di bawah kesultanan hampir setiap negara ditaklukkan lewat peperangan yang agresif dan banyak tawanan menjadi budak."
Beberapa budak dipilah oleh Wazir atas ketentuan Sultan. Sebagian dari mereka memenuhi kriteria untuk ditangkap dan dibawa ke Istana Topkapi. Di dalam Istana, para budak harus masuk Islam, kemudian belajar dan mengikuti pelatihan bekerja.
"Penduduk dari wilayah Kristen yang ditaklukkan yang telah diperbudak dan masuk Islam sering kali dibebaskan (dibebaskan) setelah beberapa tahun mengabdi, karena pembebasan semacam itu dianggap sebagai tindakan saleh di pihak pemilik budak," tulis Raswant.
"Secara naluri tentunya mereka tidak senang menjadi budak, dan bahwa mereka harus masuk Islam adalah cara untuk bertahan hidup."
Selama masa pendidikan dan pelatihan, para budak menerima pemahaman agama Islam dan kebudayaan. Mereka juga bicara bahasa Turki agar bisa berkomunikasi sebagai pelayan Sultan.
Pendidikan para budak antara lain mempelajari Alquran, bahasa Arab, hukum, sastra klasik Persia, berbagai pelatihan kejuruan yang sesuai dengan pekerjaan mereka, dan bahasa bahasa isyarat.
Raswant mendapati bahwa Istana Topkapi seperti lingkungan yang ramah untuk orang yang tuli pada salah satu ruangan. Dia menerangkan bahwa para pekerja di suatu ruang istana memukul lantai dengan tongkatnya, yang menyiratkan untuk meminta perhatian pada kalangan tuli.
"Berdasarkan pengalaman kehidupan nyata, penyewa tuli tinggal di, misalnya, lantai dua sebuah apartemen, dan setiap kali mereka secara tidak sengaja membuat suara-suara mengganggu yang mengganggu penyewa di bawah, mereka akan membentur langit-langit dengan gagang sapu untuk mengingatkan penyewa tuli di lantai atas untuk berhenti berisik," terang Raswant.