Semasa Kekaisaran Ottoman, Istana Topkapi Pernah Ramah Bagi Orang Tuli

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 3 Maret 2023 | 10:00 WIB
Istana Topkapi, tempat di mana Sultan tinggal. Semasa Sultan Suleiman I berkuasa, bahasa isyarat sangat umum mewarnai nuansa di dalam istana. (Norbert Nagel/Wikimedia)

"Budak yang 'mendengar' tongkat itu mengenai lantai tepat pada saat yang sama halaman tuli merasakan getarannya."

Ilustrasi orang Ottoman yang menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi. (Public Domain)

Bahasa isyarat Ottoman diperkenalkan pertama kali pada 1522 selama masa Suleiman I memerintah. Sultan melihat cara komunikasi punya nilai kehormatan, sehingga harus diterapkan pada semua budak, terutama yang bertugas dengan ruang rahasianya.

Pada tahun 1605, diplomat Prancis Henry de Beauvau melihat bahasa isyarat ini digunakan di Istana sebagai bahasa kedua. Beberapa diplomat dan tamu Kesultanan dari Eropa juga melaporkan bahwa orang Istana Topkapi lebih sering berkomunikasi dengan gerakan bisu daripada mengeluarkan vokal.

Suleiman I bahkan di tahun 1617 menjadikan bahasa isyarat sebagai Prinsip Keheningan, menjadi atribut wajib martabat kesultanan. Selama 46 tahun masa pemerintahannya pun, ia semakin sering menggunakan isyarat sampai-sampai menjadi bahasa kedua di istana.

Baca Juga: Kekaisaran Ottoman, Tempat Berlindung Pengungsi Muslim dan Nonmuslim

Baca Juga: Meski Kontroversial, Selim I Berhasil Membawa Kejayaan Ottoman

Baca Juga: Diskriminasi Muslim di Bulgaria Akibat Traumatik Era Ottoman

Baca Juga: Enam Penyebab Jatuhnya Kekaisaran Ottoman: Dilemahkan oleh Pihak Luar?

"Dia ingin memiliki sebanyak mungkin bisu yang dapat ditemukan," jelas Raswant. "Itu membuat saya bertanya-tanya apakah Suleiman sendiri sedikit tuli dan berusaha menyembunyikan kelemahannya dengan merangkulnya."

Namun, bahasa isyarat ini tidak populer lagi setelah Suleiman I tidak berkuasa. Bahasa isyarat dinilai sebagai bahasa sehari-hari kalangan budak, menurut Sultan Mustafa (memerintah 1617-1617 dan 1622-1623). Ia pun menolak mempelajarinya.

"Karena Sultan Mustafa menolak untuk belajar bahasa isyarat, perlahan-lahan itu berkurang dan semakin jarang digunakan oleh sultan-sultan berikutnya," Raswant berpendapat. "Namun, saya percaya bahwa politik dunia luar mungkin juga telah mempengaruhi para sultan setelah Suleiman untuk mempertimbangkan kembali gagasan kesunyian dan tuli dengan cara baru."