Para Jagawana Samosir Membingkai Budaya Kaldera Toba

By National Geographic Indonesia, Jumat, 3 Maret 2023 | 17:10 WIB
Potret suku Batak dengan busana tradisional mereka. Para lelaki menampilkan pakaian Sisingamangaraja. (FATRIS MF)

 

Oleh Fatris MF. Jurnalis dan penulis lepas, penggemar kisah perjalanan. Buku terkininya, The Banda Journal dan Hikayat Sumatra terbit pada 2021.

    

Nationalgeographic.co.id—Dari ledakan gunung yang mematikan, ironisnya, melahirkan sebuah danau raksasa yang melenakan mata. Pada 2019, UNESCO menetapkan Kaldera Toba, bekas ledakan itu, sebagai Global Geopark. Artinya, Kaldera Toba tidak semata memiliki kaitan geologis dan keanekaragaman hayati yang dianggap masih terjaga, tetapi juga warisan tradisi luhur yang hidup dalam masyarakatnya. Warisan luhur yang seperti apa?

"Tidak perlu heran, orang Batak sudah disediakan kuburan sebelum dia lahir," Surung Sidabutar, lelaki 40 tahun dengan tatapan lurus dan tulang pelipis yang menonjol di atas kelopak matanya.

Dia sedang berorasi di depan belasan turis yang berkunjung ke makam moyangnya di Tomok; sebuah perkampungan di bagian timur Samosir. Daratan itu seluas Singapura yang bagai spons raksasa terapung di tengah danau cantik. 

Danau yang terbentuk akibat letusan gunung di masa-masa yang tak tercatat. Geolog Belanda van Bemmelen menggambarkan erupsi dahsyat 74.000 tahun silam itu sebagai kiamat kecil di zaman purba. Dari sisa kiamat itulah, Toba na sae, Toba yang lapang tercipta.

“Bila Tomok ini Indonesia, maka akulah Jokowinya. Ini makam moyangku, Raja Sidabutar. Kalau nanti mati, kuburku sudah menanti di sini. Aku keturunannya yang ke-17," Surung kian berapi-api seperti ketua partai di depan simpatisannya. Dia mengelus-elus peti batu di sampingnya.

Pada 74 ribu tahun silam, ledakan Toba memuntahkan material vulkanis dalam jumlah amat besar. Terjadilah kekosongan dapur magma dan tubuh gunung api pun amblas, menjadikan kawasan Toba sebagai kaldera terbesar di dunia, yang kini meniupkan napas bagi warga yang tinggal di sekelilingnya. (FATRIS MF)

Sejak Ingwer Ludwig Nommensen mengabarkan Injil ke Tano Batak lebih dari satu setengah abad silam, ajaran purba tidaklah punah sepenuhnya dari Tanah Batak. Mangongkal Holi, prosesi penggalian tulang-belulang dari kubur lalu dipindahkan ke peti di atas tanah yang dekat dengan tempat tinggal masih terpelihara. Tradisi ini sebagai wujud penghormatan kepada arwah leluhur.

"Dulu, moyangku ini tidak makan anjing dan babi. Mereka takut dengan kedua hewan itu. Tapi setelah agama baru datang ke Tano Batak ini, malah anjing dan babi yang takut sama orang Batak,” belasan tamunya meledakkan tawa.

F.M. Schnitger, seorang arkeolog Belanda pernah datang ke sini sebelum Indonesia ada.

"Di pegunungan Samosir Selatan," catatnya dalam buku Forgotten Kingdoms in Sumatra, "kami menemukan piringan porselen hijau Cina yang sangat bernilai. Di atasnya tergeletak tengkorak seorang pria dan seorang wanita, yang ditutupi oleh piringan dari bahan yang sama, bermotif bunga. Dulunya tengkorak-tengkorak itu berwarna merah karena sirih. Dari waktu ke waktu mereka dikeluarkan dari dalam kubur dan diritualkan dalam tarian di bawah sinar bulan. Daging dan tuak dijejalkan ke dalam mulut, dan mereka yang masih hidup berbicara kepada yang mati dan menangisi mereka. Upacara yang mengesankan ini adalah bentuk untuk mengenang mereka yang sudah mati."