Para Jagawana Samosir Membingkai Budaya Kaldera Toba

By National Geographic Indonesia, Jumat, 3 Maret 2023 | 17:10 WIB
Potret suku Batak dengan busana tradisional mereka. Para lelaki menampilkan pakaian Sisingamangaraja. (FATRIS MF)

Samosir hari ini bukan lagi Samosir satu abad lalu. Samosir hari ini adalah destinasi wisata yang telah dibuat ramah dan melayani tamu sebaik-baiknya.

Di bawah siraman terik matahari, Surung terus melanjutkan kisahnya, dan belasan turis  itu masih saja meledakkan tawa mendengar Surung, melihat mimiknya, gerak-geriknya.

“Cecak, merupakan simbol dari ketangkasan,” kata Surung lagi menjawab pertanyaan wisatawan yang dipandunya sembari menunjuk ukiran cecak besar pada gerbang makam. “Maksudnya, orang Batak harus bisa hidup di mana saja, seperti cecak. Bahkan di loteng sekalipun. Di loteng siapapun."

PETA: WARSONO; SUMBER: BADAN INFORMASI GEOSPASIAL; DATA PETA KONTRIBUTOR © OPENSTREETMAP. TERSEDIA DALAM LISENSI BASIS DATA TERBUKA: OPENSTREETMAP.ORG/COPYRIGHT; SRTM ()

"Nah, kalau empat payudara yang dipahat di tiang bagian bawah itu, bukan perempuan Batak berpayudara empat nya itu. Salah pun! Masing-masing memiliki arti," ungkapnya. "Payudara pertama, itu kesucian, kedua kesetiaan, kemudian kesuburan. Payudara terakhir itu adalah kekayaan. Di sini, kaya bukan dalam artian uang, tetapi berapa banyak anak yang sanggup kau besarkan. Perempuan Batak harus menyusui anaknya sendiri, tidak bergantung pada susu pabrik. Bila perempuan Batak berbadan langsing, bah, itu malah yang membuat kuatir akan dikira tidak dikasih makan, tidak bisa menyusukan anak. Makanya perempuan Batak gemuk-gemuk. Subur!”

Siang kian terik, turis di makam moyang Surung telah bubar, tumpah ruah di pasar yang menjual makanan, cinderamata, ulos; selendang yang diberkahi yang melambangkan marwah perempuan Batak. Saya mengikuti Surung keluar dari komplek makam moyangnya, berjalan pulang di bawah terik.

Di rumahnya yang semi permanen bersekat tripleks dan terletak di pinggir danau, istrinya menghidangkan makan siang dengan lauk dan sayur seadanya. Anaknya menangis pulang sekolah. Kami makan dalam diam, angin musim kering bertiup sekenanya dari danau.

Salah satu rumah di perkampungan di Samosir. (FATRIS MF)

Usai makan, keturunan ke-17 Raja Sidabutar itu menatap ke danau yang luas terbentang. Sesekali, para pemandu lain menyapanya dengan berteriak dari atas kapal yang lewat silih berganti di danau yang terletak di halaman rumahnya, meninggalkan suara bising dari mesin kapal.

Tidak seperti keturunan raja-raja di Jawa, hidup sebagai keturunan raja bagi Surung tidak ada yang istimewa. Zaman begitu leluasa merenggut kedigdayaan sejarah yang dimiliki keluarga berdarah biru ini. Sistem monarki telah berganti, dan demokrasi masuk hingga ke pelosok Samosir tanpa bisa dihambat.

Surung tidak memiliki kekuasaan seperti moyangnya di masa lalu. Bila tidak ada yang minta dipandu, Surung menjual karcis untuk setiap wisatawan yang datang mengunjungi Tomok.

“Ini akan disetor pada pemerintah kabupaten,” kata Surung lagi. Sisa dari setoran itulah, masuk ke kantong Surung. “Terlebih bila musim kering begini, lahan persawahan kering, kebutuhan hidup hampir sepenuhnya digantungkan ke turis,” ujarnya.