Dengan antusias, ia menunjukkan segala hal menarik di dalamnya, dari Al Quran berusia ratusan tahun yang ditulis tangan oleh seorang warga Penyengat, hingga lampu hias dari Kerajaan Prussia, bagian dari sejarah Jerman.
Yang menarik perhatian saya adalah lemari Khutub Khanah Marhum Ahmadi setinggi dua meter lebih, berisi naskah-naskah Melayu dan berbagai publikasi kuno tentang beragam topik. Sayangnya, isi lemari ini tidak dapat diakses oleh publik secara langsung, karena sudah cukup rapuh.
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Penyengat memiliki beberapa paket untuk memandu perjalanan saya di pulau yang juga terkenal dengan wisata religi bagi umat muslim di Kepulauan Riau, terutama dengan keberadaan makam besar tokoh-tokoh Pulau Penyengat, seperti Raja Haji Fisabilillah, Raja Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang IV, yang namanya diabadikan menjadi bandar udara internasional Tanjung Pinang.
Saya akhirnya memilih melakukan tur sejarah dan literatur sembari bersepeda alih-alih berjalan kaki, atau menumpangi becak motor. Raja Farul, anggota Pokdarwis Pulau Penyengat, mengantar saya ke Gedung Mesiu, Benteng Bukit Kursi, hingga Makam Engku Putri Raja Hamidah. Dinding yang mengitari makam anak Raja Haji Fisabilillah ini pun diukir dengan syair gurindam karya Raja Ali Haji.
Sosok Engku Putri Raja Hamidah ini menarik perhatian. Sebagai perempuan yang menjadi istri dari Sultan Mahmud Syah III pada tahun 1803, ia bukanlah seorang trophy wife. Ia justru diberi kepercayaan untuk menjaga benda kerajaan, alat kebesaran Kerajaan Riau, Lingga, Johor, Pahang.
Dengan benda ini maka hanya Engku Putri yang bisa memilih, mengangkat dan melegitimasi sultan yang baru. Ketika benda kerajaan ini diperebutkan oleh VOC, Engku Putri pun tidak gentar mempertahankannya.
Pulau Penyengat sebenarnya menyimpan banyak kisah perempuan penulis atau cendekiawan. Salah satunya Khatijah Terung, yang menulis karya bertema cukup kontroversial pada masanya: sesuatu yang bernuansa seksual.
Sayangnya karya dengan aksara Arab gundul tersebut belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Khatijah adalah anggota Roesidijah/Rusydiah Club, organisasi para cendekia yang berdiri pada 1884 hingga 1905. Klub yang anggotanya gemar menulis dan menerbitkan tulisannya ini sampai memiliki unit percetakan sendiri.
Saya mengelus dada saat tahu bahwa pening galan sejarah mengenai klub ini nyaris tidak bersisa. Rumah yang menaungi klub ini dibumihanguskan agar tak dikuasai penjajah, yaitu Belanda yang ketar-ketir dengan keberadaan organisasi ini. Kita hanya menyaksikan sisa papan penunjuk bekas lokasi tapaknya.
Karya-karya yang diselamatkan tersimpan di Balai Maklumat yang dikelola Yayasan Kebudayaan Indera Sakti Pulau Penyengat. “Beberapa naskah sudah didigitalisasi dan bisa diakses melalui Arsip Nasional,” ujar Raja Malik Hafrizal, perawat naskah kumpulan sejarah Melayu dan Pulau Penyengat.