Saya lalu diantar ke Balai Adat Melayu untuk menikmati lantunan Gurindam 12 oleh Yola Pratama (24). Dengan suara merdu sarat cengkok Melayu yang kental, ia melantunkan beberapa irama yang biasa digunakan untuk membaca Gurindam 12.
Tentu saya tak sejago Yola, tapi mencobanya amat menyenangkan. Di sini ini pula saya mencoba mengenakan pakaian adat bangsawan khas Pulau Penyengat.
Mengobrol dan mendengarkan kisah dari Pulau Penyengat memang tidak cukup setengah hari. Namun tur yang disusun Pokdarwis Pulau Penyengat ini cukup dalam memberikan gambaran besarnya. Saya jatuh hati dibuatnya.
Perkara rasa selalu menjadi hal yang kompleks dari segi bumbu hingga selera. Namun, tak ada yang tak enak di Pulau Penyengat. Bumbu khas Melayu juga Bugis tercermin dalam makanan yang dijajakan sejak subuh.
Baca Juga: Filosofi Warna pada Pakaian Adat Melayu Pulau Penyengat
Baca Juga: Pulau Penyengat, Pulau Kecil dengan Warisan Budaya Melayu yang Besar
Baca Juga: Meramu Pengalaman Jelajah Pulau Penyengat dan Dinamika Komunitasnya
Baca Juga: Kisah Perjuangan Penjaga Tradisi Wayang Cecak di Pulau Penyengat
“Ini ada nasi melaka, nasi dagang, laksa goreng, karipap, roti naek, roti belaok, tembose,” Tilla dengan riang menunjuknya satu per satu. Saya pun menemukan rasa favorit: Laksa goreng. Aduh, rasanya lezat terutama setelah diguyur kuah penuh rempah.
“Kalau malam, biasanya makan apa?” tanya saya. “Yang biasa-biasa saja, tapi kadang-kadang menyeberang ke Tanjung Pinang. Bisa makan di Akau Potong Lembu,” jawab Tilla. “Ada gong-gong—sejenis kerang laut, ayam goreng bawang, sop ikan, banyak.”
Malam itu setelah bersantap di Akau Potong Lembu, saya kembali ke Pulau Penyengat. Bisingnya pompong tak mengganggu saya menikmati langit malam bertabur bintang.
Kecipak halus laut yang terbelah pompong pun menambah rasa, bahwa Indonesia ini luas, dan banyak cerita yang beragam. Kali ini kebinekaan itu hadir dari sebuah pulau kecil bernama Pulau Penyengat.