Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Tiongkok berkuasa selama lebih dari 2.000 tahun. Di akhir era Dinasti Qing, terjadi revolusi yang mengubah masa depan Tiongkok. Revolusi 1911 atau Revolusi Xinhai menggulingkan kekaisaran yang memimpin selama ribuan tahun. Ini adalah puncak dari kerusuhan sosial dan kelemahan politik yang telah terjadi selama beberapa dekade.
Latar belakang Revolusi 1911
Selama abad ke-19, pengaruh dan prestise Kekaisaran Tiongkok runtuh karena tekanan kolonial dan ketidakmampuan menanggapi ancaman eksternal. “Periode ini dikenang sebagai abad penghinaan,” tulis Ilyas Benabdeljalil di laman The Collector.
Setelah kalah dalam Perang Candu dari Inggris Raya dan Prancis, kolonial memberlakukan perjanjian yang tidak setara di Tiongkok. Dinasti Qing yang berkuasa berusaha meningkatkan reformasi untuk memodernisasi tentara dan administrasinya. Namun upaya ini dirusak oleh korupsi internal dan sentralisasi kekuasaan di tangan kekaisaran yang sangat konservatif.
Kekalahan dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama pada 1895 meyakinkan Kaisar Guangxu akan perlunya reformasi di bidang ekonomi dan sosial. Dengan bantuan reformis terkemuka Kang Youwei dan Liang Qichao, Beijing meluncurkan Reformasi Seratus Hari pada 1898. Namun, upaya ini dipersingkat oleh kudeta konservatif yang dilakukan oleh Ibu Suri Cixi.
Oleh ibu suri, kaisar ditempatkan di bawah tahanan rumah. Sementara itu, reformis melarikan diri dari Tiongkok untuk menghindari eksekusi.
Ibu suri tidak hanya mengakhiri reformasi Guangxu tetapi juga mendorong Pemberontakan Boxer melawan pengaruh pejabat asing. Pemberontakan ini terjadi dari tahun 1899 hingga 1901. Yang menjadi korban adalah orang asing dan Kristen Tionghoa. Mereka menjadi sasaran kekerasan dari kelompok ultra-konservatif.
Peristiwa ini menyebabkan intervensi militer multinasional di Tiongkok yang “mengikat” Beijing ke Barat oleh Protokol Boxer.
Menyusul penghinaan tambahan ini, berbagai kelompok anti-rezim terbentuk di seluruh negeri. Salah satu kelompok yang paling terkenal adalah gerakan anti-Manchu dari Zou Rong. Sangat nasionalis, kelompok ini bertujuan untuk menghapus Dinasti Qing, yang berasal dari Manchu. “Gerakan tersebut berniat mengganti dengan penguasa etnis Tionghoa,” kata Benabdeljalil.
Reformis Kang Youwei dan Liang Qichao menciptakan Masyarakat Perlindungan Kaisar, yang menuntut kembalinya Guangxu ke tampuk kekuasaan. Akhirnya, Masyarakat Kebangkitan Tiongkok memiliki gagasan revolusioner yang kuat. Kelompok yang dipimpin oleh yang dipimpin oleh Sun Yat-sen bertujuan untuk mengakhiri pemerintahan dinasti.
Perlawanan terhadap Kekaisaran Tiongkok
Pemberontakan melawan rezim dimulai. Tahun 1895, Masyarakat Kebangkitan Tiongkok berusaha merebut kota Guangzhou melalui pemberontakan. Namun, rencana tersebut bocor ke penguasa Qing, yang dengan cepat bereaksi. Para revolusioner pun ditangkap dan dieksekusi.
Banyak pemberontakan terjadi di Tiongkok pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1900, otoritas Qing membatalkan upaya untuk menggulingkan ibu suri. Pada Mei 1907, gerakan revolusioner yang melibatkan sukarelawan asing berusaha menguasai Chaozhou tetapi ditekan dengan keras.
Pada tahun 1907 dan 1908, banyak pemberontakan ditindas oleh rezim meskipun beberapa sempat berhasil di awal.
Pada November 1908, Kaisar Guangxu dan Ibu Suri Cixi meninggal. Namun sebelum meninggal, sang ibu suri sempat menunjuk seorang kerabat berusia dua tahun, Pangeran Puyi, sebagai kaisar selanjutnya.
Tetapi para penguasa baru tidak melakukan apapun untuk memperbaiki situasi dengan pihak oposisi. Setelah tahun yang relatif tenang, pemberontakan dan pemberontakan dimulai lagi pada Februari 1910 dengan Pemberontakan Tentara Baru Gengxu. Satu tahun kemudian, Pemberontakan Guangzhou Kedua terjadi pada bulan April.
Senja Dinasti Qing sudah dekat, dan beberapa bulan kemudian, pemberontakan terakhir akan terjadi. Pemberontakan itulah yang meluluhlantakkan kekaisaran yang sudah berkuasa selama lebih dari 2.000 tahun.
Revolusi 1911 yang mengubah sejarah Tiongkok
Pada 10 Oktober 1911, organisasi-organisasi revolusioner di kota Wuchang melancarkan pemberontakan besar-besaran yang mengejutkan pemerintah setempat. Keesokan harinya, seluruh kota berada di tangan para pemberontak.
Pasukan Qing setempat melarikan diri dan terbunuh selama pertempuran. Didorong oleh keberhasilan ini, gerakan revolusioner lainnya melancarkan banyak pemberontakan hampir secara bersamaan. Mereka tidak memberikan kesempatan bagi kekaisaran untuk membalas.
Pada tanggal 23 Oktober, Jiujiang jatuh ke tangan para pemberontak. Pada tanggal 29, pemberontakan berdarah terjadi di Provinsi Shanxi. “Di sini terjadi pembantaian sebagian besar orang Manchu yang mendiami wilayah tersebut,” tambah Benabdeljalil. Pemberontakan ini dipimpin oleh Yan Xishan.
Pada akhir Oktober 1911, Provinsi Yunan jatuh ke tangan kaum revolusioner dan Jiangxi segera menyusul. Dalam dua bulan berikutnya, seluruh Tiongkok berkobar dengan api pemberontakan.
Namun karena tidak memiliki komite terpusat, para pemberontak pun terbagi dalam ideologi. Sebagian ingin menggulingkan kekaisaran, sedangkan yang lain ingin menggulingkan elite Manchu dan menggantikannya dengan Han.
Di wilayah lain, seperti Tibet dan Mongolia, organisasi pro-kemerdekaan berhasil merebut kebebasan mereka dari Beijing dan mendirikan negara baru.
Runtuhnya Dinasti Qing dan akhir Kekaisaran Tiongkok
Pada November 1911, pejabat Qing menunjuk Yuan Shikai sebagai perdana menteri. Pemerintah mengesahkan Reformasi Sembilan Belas Pasal yang mengubah Tiongkok dari rezim otokratis menjadi monarki konstitusional. Namun, perubahan ini terlambat dan gagal memuaskan para pemberontak.
Di Tiongkok Selatan, pasukan revolusioner merebut Nanking dan mengubahnya menjadi ibu kota pemerintahan sementara yang baru. Pada bulan Desember, delegasi Beijing dan Nanking bertemu di wilayah Konsesi Inggris di Shanghai guna mengakhiri krisis. Akhirnya disepakati bahwa kaisar akan turun takhta dengan syarat Yuan Shikai diangkat menjadi presiden Tiongkok.
Yuan Shikai tidak menjunjung tinggi kesepakatannya dan komite revolusioner memilih Sun Yat-sen sebagai presiden sementara pada tanggal 29 Desember. Pada tanggal 3 Januari 1912, kelompok pemberontak berusaha membunuh Yuan Shikai dan tentara pemberontak mulai berbaris di Beijing.
Takut untuk tunduk, perdana menteri melaksanakan persyaratannya di Konferensi Shanghai dan menyarankan kepada pejabat Qing agar kaisar turun tahta. Kaisar terakhir, Puyi, melepaskan takhta pada 12 Februari. Untuk sepenuhnya melaksanakan ketentuan perjanjian, Sun Yat-sen mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Setelah itu, Yuan Shikai dilantik pada 12 Maret 1912. Republik Tiongkok pun terbentuk.
Tak lama setelah pencalonan Yuan Shikai, sebagian besar faksi revolusioner berkumpul di Partai Kuomintang, yang mendominasi majelis terpilih pertama. Song Jiaoren terpilih sebagai perdana menteri tetapi dibunuh atas perintah Yuan pada Maret 1913.
Tiongkok akan memasuki fase ketidakstabilan karena berbagai tokoh berpengaruh bersaing untuk mendapatkan kekuasaan di dalam dan di luar Kuomintang. Gerakan lain, seperti Partai Komunis Tiongkok, segera muncul di peta sosial dan politik.
Revolusi 1911, suatu kegagalan atau kesuksesan?
Revolusi Tiongkok tahun 1911 dihasilkan dari berbagai pemberontakan melawan Dinasti Qing. Gerakan di balik pemberontakan tersebut tidak terkoordinasi dalam satu organisasi dan memiliki tujuan yang berbeda. Tapi semua pemberontak bersatu dalam menghapus kekuasaan Manchu dari Tiongkok.
Revolusi memang mencapai tujuan utamanya untuk menyingkirkan Kaisar Qing. Namun, berbagai kelompok yang menjadi tulang punggung revolusi mengejar tujuannya masing-masing.
Mongolia dan Tibet berhasil memperoleh kemerdekaan dari Beijing. Namun bagi fraksi politik lainnya, kemenangan tersebut berubah menjadi tantangan yang lebih kompleks.
Baca Juga: Mengapa Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok, Melepaskan Takhtanya?
Baca Juga: Kehidupan Tragis Puyi, Kaisar Tiongkok Terakhir Sebagai Tawanan Soviet
Baca Juga: Puyi, Kaisar Tiongkok yang Pertama Kali Belajar Bahasa Inggris
Baca Juga: Puyi, Satu-satunya Kaisar Tiongkok yang Naik Takhta Tiga Kali
Gerakan nasionalis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah mereka yang mendukung munculnya negara presidensial. Sedangkan yang kedua adalah mereka yang ingin meniru pemerintahan monarki dengan kaisar Han yang beretnis Tionghoa.
Selain perbedaan penting ini, otoritas pusat di Beijing gagal membangun kendali langsung atas provinsi-provinsi yang jauh. Kerusuhan ini memfasilitasi munculnya panglima perang lokal yang berperang satu sama lain dari tahun 1916 hingga 1928. Selama periode inilah Partai Komunis Tiongkok muncul sebagai pemain politik utama. “Partai ini terlibat dalam aktivitas militer melawan Kuomintang yang nasionalis,” Benabdeljalil menambahkan lagi.
Perang saudara antara komunis dan nasionalis berlangsung dari tahun 1927 hingga 1949. Perang saudara akhirnya berakhir dengan Partai Komunis Tiongkok mengambil alih kekuasaan di Tiongkok daratan. Sementara Kuomintang mundur ke Taiwan dan mendirikan pemerintahan otonom.
Saat ini, Republik Rakyat Tiongkok adalah kekuatan industri utama serta pemain penting dalam politik dunia. Sedangkan Taiwan juga merupakan pemangku kepentingan penting dalam urusan internasional. Namun, ketegangan antara kedua rezim tersebut masih bertahan hingga saat ini dan api konflik masih mengancam kawasan tersebut.