Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok, ada beberapa kaisar yang ambisius. Sayangnya, ambisi tersebut terkadang tidak disertai dengan kecakapan berpolitik. Salah satunya adalah Kaisar Tiongkok Guangxu atau Kaisar Dezong dari Dinasti Qing (1871 — 1908). Lahir dengan nama Zai Tian, ia adalah kaisar nomor dua terakhir dari Dinasti Qing dan juga Kekaisaran Tiongkok.
Seluruh hidupnya dikendalikan terutama oleh bibinya, Ibu Suri Cixi. Di masa pemerintahannya yang singkat, ia berpartisipasi dalam perang namun gagal. Dianggap ambisius dan tidak pandai berpolitik, Guangxu menerapkan reformasi jangka pendek dan berhasil.
Kaisar muda Guangxu yang dikekang oleh Ibu Suri Cixi
Ayah kandung Zai Tian adalah seorang pangeran bangsawan, putra Kaisar Daoguang. Sedangkan bu kandungnya adalah saudara perempuan Ibu Suri Cixi.
Ketika Zai Tian berusia empat tahun, kaisar saat itu, putra satu-satunya Ibu Suri Cixi, meninggal dunia. Ia tidak meninggalkan ahli waris.
Cixi masih ingin tetap memerintah kekaisaran, jadi dia membutuhkan kaisar boneka muda yang mudah dimanipulasi.
Ibu suri pun mengadopsi Zai Tian sebagai putranya sehingga dia dapat bertindak sebagai wali. “Dengan demikian, Cixi bisa terus mendominasi pemerintahan seperti yang dia lakukan sejak 1861,” tulis Kenneth Pletcher di laman Britannica.
Setelah Zai Tian diangkat menjadi Kaisar Guangxu, ia meninggalkan orang tua kandungnya dan mulai tinggal di Kota Terlarang.
Di istana, Kaisar Guangxu diberi pendidikan oleh guru yang paling pandai. Namun di sisi lain, Cixi-lah yang memutuskan apa saja yang boleh diajarkan ke kaisar mud aitu.
Ketika Kaisar Guangxu, berusia 18 tahun, dia menikahi ratunya, seorang gadis yang dijodohkan oleh Cixi. Meskipun kaisar sudah dewasa pada tahun 1887, dia harus menunggu dua tahun lagi sebelum mengambil alih pemerintahan dari Cixi.
Pada tahun 1898, di usia 27 tahun, dia akhirnya mencoba untuk menegaskan dirinya sendiri. Selama apa yang kemudian dikenal sebagai "Seratus Hari Reformasi", Kaisar Guangxu mengumpulkan sekelompok pejabat yang berorientasi progresif di sekitarnya. Ia juga mengeluarkan serangkaian dekrit reformasi yang luas yang membuat pejabat konservatif sangat marah.
Perang Tiongkok-Jepang yang menyebabkan hilangnya martabat Kaisar Guangxu
Beberapa tahun kemudian, Perang Tiongkok-Jepang Pertama (1894 — 1895) Meletus. Saat itu, Kaisar Guangxu dengan tegas mendukung untuk berperang.
Namun, angkatan laut Kekaisaran Qing, yang merupakan pasukan pribadi Li Hongzhang, Armada Beiyang, tewas setelah serangkaian pertempuran sengit.
Kaisar Guangxu ingin memindahkan ibu kota ke tempat yang lebih aman dan terus berperang melawan Jepang. Di sisi lain, Ibu Suri Cixi bersikeras untuk menuntut perdamaian dan kemudian menandatangani Perjanjian Shimonoseki. Perjanjian yang tidak adil yang mencakup penyerahan wilayah yang luas dan banyak ganti rugi perang.
Kegagalan besar ini berarti Gerakan Penguatan Diri (1861-1895) telah gagal total. Dengan ini, kekaisaran Tiongkok menjadi kekaisaran semi-kolonial dan semi-feodal.
Kaisar Guangxu menghadap ke laut di mana pasukan utama Qing tewas. Di sana, ia meratap dengan sedih, merasa sangat sedih karena dia tidak dapat mempertahankan kekaisarannya sebagai pemimpin.
Kaisar Guangxu dan gerakan reformasi menyeluruh
Sehari setelah kekaisaran menandatangani perjanjian dengan Jepang, sekitar 1.300 cendekiawan menyatakan bahwa kekaisaran tertinggal dalam banyak hal. Karena itu, kekaisaran membutuhkan reformasi fundamental yang lebih radikal.
Kaisar Guangxu sangat mendukung gagasan ini dan berusaha lebih keras untuk mencari perubahan. Tiga tahun kemudian, didukung oleh beberapa pejabat, Kaisar Guangxu melaksanakan Gerakan Reformasi tahun 1898.
Reformasi ini termasuk mengubah pakaian dan gaya rambut Manchu Qing, menetapkan konstitusi, parlemen, tentara modern, dan sekolah baru. Kekaisaran juga mendorong bisnis dan industri swasta, komunikasi bebas, dan memotong hak istimewa Manchu.
Kebijakan-kebijakan ini membutuhkan pengalihan kekuatan politik dan militer dari bangsawan Cixi dan Manchu. Ini merupakan sebuah reformasi mendasar dari sistem aristokrat nomaden Dinasti Qing.
Reformasi gagal
Banyak sejarawan beranggapan bahwa pejabat dan Guangxu terlalu naif sehingga menerapkan semua kebijakan reformasi. Namun, mereka mencoba yang terbaik untuk melakukan perubahan besar.
Kaisar Guangxu, sebagai seorang kaisar feodal yang menduduki kekuasaan terpusat, siap menyerahkan kekuasaannya demi kemakmuran kekaisaran.
Sepanjang Dinasti Qing, dia adalah raja pertama dan satu-satunya yang menempatkan martabat dan kemakmuran kekaisaran di atas kekuasaannya. Bahkan, ia menempatkan kepentingan warga sipil di atas para bangsawan Manchu.
Namun, reformasi ini tidak menyenangkan seluruh kelas penguasa, termasuk Ibu Suri Cixi, bangsawan Qing, dan banyak pejabat konservatif. Oleh karena itu, Cixi memprakarsai kudeta, memenjarakan Kaisar Guangxu, dan mengeksekusi beberapa pejabat reformis.
Gerakan ini hanya berlangsung selama 103 hari.
Selain perlawanan bangsawan konservatif, Kaisar Guangxu dan pejabat reformasinya juga kurang pengalaman dalam bidang politik dan administrasi.
Mereka menerbitkan terlalu banyak kebijakan agresif dan gegabah ke sistem lama. Kebijakan itu pun dengan segera menjadi “usang”. Sebagian besar tidak dapat dilakukan atau realistis dalam situasi saat itu.
Setelah itu, Cixi mendapatkan kembali semua kekuatannya, secara dramatis merusak hubungannya dengan Kaisar Guangxu. Dia juga mencoba mencalonkan ahli waris lain untuk menggantikan Guangxu tetapi gagal. Pasalnya, sang ibu suri harus menghadapi lawan yang kuat di antara kelas penguasa dan pasukan asing di Qing.
Pada tahun 1900, meskipun ditentang oleh Kaisar Guangxu, Cixi menyatakan perang melawan Delapan Kekuatan Sekutu dan Qing terus kalah.
Sebelum Delapan Kekuatan Sekutu menduduki Beijing, Cixi melarikan diri ke arah barat.
Kegigihan dan tragedi Kaisar Guangxu
Selama ditawan, Cixi terkadang mengizinkan Kaisar Guangzu untuk berpartisipasi dalam pertemuan politik. Namun sebagai tawanan, dia adalah kaisar boneka yang harus mengatakan apa yang diminta Cixi.
Guangxu menghabiskan sebagian besar waktunya membaca buku di seluruh dunia. Meski menjadi tahanan rumah, ia tidak pernah berhenti mempelajari hukum dan ideologi dari negara barat maju.
Kaisar Guangxu berharap setelah Cixi meninggal, dia dapat melaksanakan reformasinya lagi. Namun, ini hanya angan-angannya karena Ibu Suri Cixi adalah politisi yang lebih dewasa, licik, dan tanpa ampun.
Ketika Cixi sudah tua dan sakit, Kaisar Guangxu diracun sampai mati di bawah komandonya karena kebijakan "pemberontak" dan ia berpotensi untuk membahayakan dominasi aristokrat Qing.
Kaisar Guangxu meninggal sehari sebelum kematian sang ibu suri.
“Dekrit terakhir Cixi menyerahkan tahta kepada Puyi, keponakan kaisar yang berusia hampir tiga tahun,” tambah Pletcher.
Baca Juga: Chongzen, Kaisar Tiongkok Pilih Akhiri Nyawa Sendiri dengan Sadis
Baca Juga: Mengapa Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok, Melepaskan Takhtanya?
Baca Juga: Kisah Revolusi 1911 yang Meluluhlantakkan Kekaisaran Tiongkok
Baca Juga: Mengapa Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok, Melepaskan Takhtanya?
Sejak awal dipercaya secara luas bahwa Kaisar Guangxi meninggal karena diracuni. Namun tidak ada bukti yang mendukung teori ini hingga satu abad setelah kematiannya. Pada tahun 2008, setelah penelitian selama lima tahun, sebuah laporan dikeluarkan oleh para peneliti dan pejabat polisi Tiongkok. Laporan itu mengonfirmasikan bahwa kaisar diracuni dengan arsenik. Laporan itu tidak membahas siapa yang mungkin memerintahkan pembunuhannya, tetapi kecurigaan telah lama diarahkan ke Cixi.
Kaisar Guangxu adalah kaisar yang tidak beruntung dan menyedihkan dalam sejarah Tiongkok. Ia ambisius dan bercita-cita untuk membawa kemakmuran bagi kekaisarannya. Sayangnya, Kekaisaran Tiongkok sudah mulai meredup dan memiliki beberapa masalah besar.
Guangxu tidak takut perang atau kehilangan kekuasaan atau takhta. Ia mencoba menerapkan reformasi mendasar yang dapat membawa perubahan signifikan bagi kekaisaran tercintanya.
Tidak seperti nenek moyang dan bibinya, dia keluar dari kandang dan mulai berpikir dari perspektif yang lebih besar. Namun, Guangxu dan ketidakmampuan para pengikutnya membuat reformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya menemui kegagalan total.
Meski tidak pernah berhenti mencoba dan belajar, Kaisar Guangxu tetap saja berakhir menjadi korban roda sejarah.