“Ini karena dampak pajak terhadap total penggunaan energi terjadi lebih lambat daripada yang disarankan oleh pendekatan pemodelan sebelumnya. Saya hanya mempelajari satu sisi dari kebijakan iklim, dan saya berharap hasilnya akan membantu meningkatkan model iklim-ekonomi generasi berikutnya,” jelasnya.
Peneliti menemukan secara akurat pola penggunaan energi dan pertumbuhan ekonomi. Temuannya tidak ditemukan dalam model standar yang biasa dipakai oleh ekonom untuk mengevaluasi kebijakan iklim. Pasalnya, model yang ada selama ini diterapkan tidak memperhitungkan sifat kemajuan teknologi yang berkembang lambat.
Baca Juga: Serban Kuning: Simbol Perlawanan atas Pajak & Dinasti Han yang Korup
Baca Juga: Studi: Hutan yang Pulih dari Penebangan Ternyata Sumber Emisi Karbon
Baca Juga: Emisi Karbon Tertinggi Ternyata Berasal dari Kebakaran Hutan Salju
Baca Juga: Lautan Adalah Salah Satu Penyerap Karbon Dinamis Terbesar di Dunia
Hal itulah yang menyebabkan model standar melebih-lebihkan pengurangan penggunaan energi kumulatif yang dicapai oleh pajak pada bidang energi tertentu. Pada akhirnya, menurut para peneliti, kebijakan pajak karbon seperti itu justru meleset dari target, dibandingkan model baru dalam memerangi perubahan iklim.
Di bidang penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan efisiensi energi, Casey menerangkan, selama ini memang sudah diatur dalam banyak model kebijakan iklim dan pajak. Meski demikian, usaha baru sekadar subsidi pada bidang penelitian dan pengembangan.
Subsidi dinilai hanya baru membantu putaran awal pengingkatan teknologi hemat energi. Akan tetapi, insentif untuk penelitian dan pengembangan berkutnya cenderung tidak didukung.
Lewat model baru ini, Casey menyimpulkan bahwa pajak energi harus lebih tinggi. Dia yakin bahwa semakin tinggi angkanya, semakin tersebar dampak pajak kepada pengembangan inovasi dan menciptakan sistem yang tepat untuk memenuhi komitmen negara yang menyetujui Perjanjian Paris.