Nationalgeographic.co.id—Demi memerangi perubahan iklim, banyak negara yang menerapkan pajak untuk kepemilikan benda dan usaha penghasil karbon. Penerapan ini dilakukan di banyak negara karena diyakini sebagai sistem yang efektif untuk memerangi perubahan iklim, agar bisa memenuhi komitmen Perjanjian Paris 2016.
Indonesia menekankan dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tahun 2021 untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca. Peraturannya pun diyakini bisa meningkatkan pendapatan pajak dan meningkatkan efisiensi energi terbarukan bagi konsumen dan bisnis.
Melansir Pajakku, tujuan pengenaan pajak karbon selain mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca adalah mendorong pelaku ekonomi beralih kepada aktivitas yang rendah karbon, dan mendorong inovasi teknologi yang lebih ramah lingkungan.
Selain itu, manfaat regulasi pajak karbon adalah pengurangan emisi gas rumah kaca. Di satu sisi menambah dana pembangunan negara, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, dan dukungan dalam bentuk bantuan sosial kepada masyarakat berpenghasilan rendah.
Akan tetapi, makalah terbaru di jurnal The Review of Economic Studies menunjukkan bahwa pajak karbon kurang efektif dalam mengurangi emisi karbon.
Makalah yang diterbitkan 15 Maret 2023 bertajuk "Energy Efficiency and Directed Technical Change: Implications for Climate Change Mitigation" mengungkapkan bahwa intervensi pajak yang diperlukan untuk mencapai tujuan kesepakatan Perjanjian Iklim Paris tahun 2016, perlu lebih besar dari perkiraan sebelumnya.
Sejak isu perubahan iklim menjadi perhatian dunia, kalangan peneliti ekonomi mempelajari kebijakan terhadap upaya mengurangi atau menghilangi emisi karbon dioksida.
Kebijakan dinilai menjadi dasar untuk sistem mengurangi emisi karbon dengan berbagai cara, termasuk mendorong ekonomi menuju sumber energi lebih bersih, dan mencegah penggunaan energi secara total, terang Gregory Casey penulis makalah dari Department of Economics, Williams College, AS.
Casey dalam makalahnya menemukan, kebijakan pajak karbon untuk memerangi perubahan iklim membutuhkan waktu yang lama, dan jauh dari waktu perkiraan model untuk memenuhi komtimen. “Untuk mencapai tujuan kebijakan lingkungan, pajak energi harus lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya,” kata Casey di Phys.org.
Casey berpendapat, peningkatan teknologi efisiensi energi adalah komponen penting dari pengurangan penggunaan energi. Meski demikian, penyesuaian teknologi seperti ini juga masih tetap membutuhkan waktu.
Agar penyesuaian teknologi menjadi efektif dalam komitmen percepatan waktu, peneliti mengembangkan model pertumbuhan ekonomi dan efisiensi energi dengan perubahan teknis endogen.
Model ini juga mempelajari dampak kebijakan mitigasi perubahan iklim terhadap penggunaan energi yang selama ini diterapkan lewat pajak karbon.
“Ini karena dampak pajak terhadap total penggunaan energi terjadi lebih lambat daripada yang disarankan oleh pendekatan pemodelan sebelumnya. Saya hanya mempelajari satu sisi dari kebijakan iklim, dan saya berharap hasilnya akan membantu meningkatkan model iklim-ekonomi generasi berikutnya,” jelasnya.
Peneliti menemukan secara akurat pola penggunaan energi dan pertumbuhan ekonomi. Temuannya tidak ditemukan dalam model standar yang biasa dipakai oleh ekonom untuk mengevaluasi kebijakan iklim. Pasalnya, model yang ada selama ini diterapkan tidak memperhitungkan sifat kemajuan teknologi yang berkembang lambat.
Baca Juga: Serban Kuning: Simbol Perlawanan atas Pajak & Dinasti Han yang Korup
Baca Juga: Studi: Hutan yang Pulih dari Penebangan Ternyata Sumber Emisi Karbon
Baca Juga: Emisi Karbon Tertinggi Ternyata Berasal dari Kebakaran Hutan Salju
Baca Juga: Lautan Adalah Salah Satu Penyerap Karbon Dinamis Terbesar di Dunia
Hal itulah yang menyebabkan model standar melebih-lebihkan pengurangan penggunaan energi kumulatif yang dicapai oleh pajak pada bidang energi tertentu. Pada akhirnya, menurut para peneliti, kebijakan pajak karbon seperti itu justru meleset dari target, dibandingkan model baru dalam memerangi perubahan iklim.
Di bidang penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan efisiensi energi, Casey menerangkan, selama ini memang sudah diatur dalam banyak model kebijakan iklim dan pajak. Meski demikian, usaha baru sekadar subsidi pada bidang penelitian dan pengembangan.
Subsidi dinilai hanya baru membantu putaran awal pengingkatan teknologi hemat energi. Akan tetapi, insentif untuk penelitian dan pengembangan berkutnya cenderung tidak didukung.
Lewat model baru ini, Casey menyimpulkan bahwa pajak energi harus lebih tinggi. Dia yakin bahwa semakin tinggi angkanya, semakin tersebar dampak pajak kepada pengembangan inovasi dan menciptakan sistem yang tepat untuk memenuhi komitmen negara yang menyetujui Perjanjian Paris.