Mengapa Kekaisaran Ottoman Mengubah Hagia Sophia Menjadi Masjid?

By Ricky Jenihansen, Selasa, 21 Maret 2023 | 07:00 WIB
Lukisan ‘Aya Sofia, Constantinople' karya Gaspare Fossati tahun 1852. (Gaspare Fossati)

Nationalgeographic.co.id—Hagia Sophia, yang saat ini secara resmi memiliki nama Masjid Raya Hagia Sophia, adalah situs bersejarah penting yang juga merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO yang berada di distrik Fatih, Provinsi Istanbul, Turki.

Situs tersebut adalah mahakarya abad keenam peninggalan Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur. Saat pertama didirikan, Hagia Sophia dibangun untuk menjadi Katedral Konstantinopel (sekarang Istanbul Turki) bagi Kristen Ortodoks.

Tapi dalam perjalanan sejarahnya, Hagia Sophia telah berulang kali diperebutkan, berulang kali pula berubah fungsi. Mulai dari Kekaisaran Bizantium, Tentara Salib, Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah hingga saat ini dimiliki Turki.

Hagia Sophia memiliki arti "kebijaksanaan suci" dan saat pertama kali dibangun, monumen tersebut adalah katedral terbesar di dunia.

“Dimensi Hagia Sophia luar biasa untuk struktur apa pun yang tidak terbuat dari baja,” tulis Helen Gardner dan Fred Kleiner dalam buku mereka "Gardner's Art Through the Ages: A Global History."

“Rencananya panjangnya sekitar 270 kaki (82 meter) dan lebar 240 kaki (73 meter). Kubah itu berdiameter 108 kaki (33 meter) dan puncaknya menjulang sekitar 55 meter."

Dengan usianya yang sekitar 1.400 tahun itu, Hagia Sophia telah berfungsi sebagai katedral, masjid, museum dan sekarang kembali menjadi masjid.

Ketika pertama kali dibangun, Konstantinopel adalah ibu kota Kekaisaran Bizantium yang awalnya merupakan bagian timur Kekaisaran Romawi, tapi berlanjut setelah jatuhnya Roma. Kekaisaran ini, secara resmi adalah Kristen Ortodoks.

Babak lain dalam kehidupan Hagia Sophia dimulai pada 1453. Pada tahun itu Kekaisaran Bizantium berakhir, dengan Konstantinopel jatuh ke tangan pasukan Mehmed II, sultan Kekaisaran Ottoman yang dikenal dengan Muhammad al Fatih.

Hagia Sophia memiliki sejarah panjang mulai dari Bizantium, Kekaisaran Latin hingga Kekaisaran Ottoman. (Pixabay)

"Kekaisaran Bizantium telah mengalami kemunduran selama berabad-abad dan pada tahun 1453 Hagia Sophia telah rusak," catat peneliti Elisabeth Piltz dalam buku seri British Archaeological Reports tahun 2005.

Namun demikian, katedral Kristen Ortodoks itu telah memberi kesan kuat pada penguasa Ottoman yang baru, Sultan Muhammad Al Fatih dan mereka memutuskan untuk mengubahnya menjadi masjid.

“Seorang ahli yang sempurna telah menampilkan seluruh ilmu arsitektur,” tulis sejarawan Ottoman Tursun Beg pada abad ke-15.

Sementara itu, Prof Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam bukunya "Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah" menulis, saat Sultan Muhammad Al Fatih menaklukkan konstatinopel ada banyak penduduk yang berlindung di dalam katedral Hagia Sophia.

Setelah berkeliling, sultan menuju ke Hagia Sophia dan bertemu banyak masyarakat, bersama rahib dan pendeta yang bersembunyi ketakutan.

Sultan lantas meminta salah seorang pendeta untuk menenangkan masyarakat di dalam gereja dan meminta mereka untuk pulang ke rumah. Sultan juga menjamin keamanan dan keselamatan mereka, sehingga masyarakat menjadi tenang.

Sikap sultan yang toleran membuat masyarakat yang bersembunyi di Hagia Sophia mulai tenang dan bahkan mereka pun menyatakan diri masuk Islam. Setelah itulah sultan kemudian memerintahkan untuk segera mengubah Hagia Sophia menjadi masjid agar mereka bisa salat Jum'at di sana.

Hagia Sophia menjadi milik pribadi sultan Ottoman dan memiliki tempat khusus di antara masjid-masjid Konstantinopel. Tidak ada perubahan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan sultan, termasuk penghancuran mosaik-mosaik tersebut. (Unsplash)

Setelah memutuskan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid, sultan memerintahkan renovasi besar-besaran. "Di luar katedral, empat menara kemudian ditambahkan, empat menara berbentuk pensil ramping yang tingginya lebih dari 200 kaki (60 meter) dan di antara yang tertinggi yang pernah dibangun," tulis Kleiner.

Perubahan juga terjadi di bagian dalam. Piltz menulis bahwa "setelah penaklukan Ottoman, mozaik kristen Ortodoks disembunyikan di bawah cat kuning kecuali Theotokos (Perawan Maria dengan anak) di apse."

Apse adalah ceruk setengah lingkaran atau poligonal besar di gereja. Selain itu, "Monogram dari empat khalifah diletakkan di pilar yang mengapit apse dan pintu masuk nave (bagian tengah katedral)."

Setelah mozaik Kristen Ortodoks ditutupi, Sultan kemudian menggantinya dengan kaligrafi Islam di seluruh bagian dalam. Sementara di luar, ia menambahkan 4 menara yang merupakan ciri tradisional Masjid.

Baca Juga: Goresan Sejarah Hagia Sophia, Satu Kubah yang Menaungi Tiga Agama

Baca Juga: Hagia Sophia, Wajah Harmoni Peradaban Umat Manusia dalam Budaya Turki

Baca Juga: Harem Sultan Penebar TBC yang Menghancurkan Kekaisaran Ottoman

 Baca Juga: Tari Darwis, Seni Indah para Sufi yang Populer di Kekaisaran Ottoman

Baca Juga: Simalakama Kekaisaran Ottoman Menjinakkan Vlad Dracula 'Sang Penyula'

Setelah itu, Hagia Sophia, khususnya kubahnya, kemudian mempengaruhi arsitektur Ottoman, terutama dalam pembangunan Masjid Biru, yang dibangun di Istanbul pada abad ke-17.

Tapi, pada tahun 1934, Mustafa Kemal Ataturk yang berhasil menggulingkan Kesultanan Utsmaniyah, menghancurkan sistem khilafah Turki dan menghilangkan simbol-simbol Islam, termasuk mensekulerkan Hagia Sophia dan mengubahnya menjadi museum.

Tapi sejak tahun 2005, sejumlah petisi muncul untuk mengembalikan fungsi Hagia Sophia sebagai masjid. Petisi mengatakan, bahwa Hagia Sophia adalah milik Pribadi Sultan Mehmed II atau Muhammad Al Fatih yang pada tahun 1453 merebut Istanbul.

Pada 11 Juli 2020, pengadilan Turki menganulir dekrit 1934 yang diprakarsai Attaturk. Setelah putusan itu, Presiden Recep Tayyip Erdogan menandatangani keputusan presiden untuk mengubah kembali Hagia Sophia menjadi masjid.

Penelitian, perbaikan, dan restorasi berlanjut hingga hari ini dan Hagia Sophia sekarang menjadi situs penting untuk pariwisata di Istanbul. Ini adalah tempat yang telah menjadi bagian dari jalinan budaya kota baik di zaman kuno maupun modern.