Nationalgeographic.co.id—Siapa yang tidak mengenal penjelajah besar Marco Polo dari Venesia. Bukunya penuh dengan kejutan bagi orang Eropa abad ke-13, karena berisi petualangan ke Kekaisaran Tiongkok.
Namun, kebenaran tentang perjalanannya ke Kekaisaran Tiongkok penuh keraguan oleh kalangan sejarawan. Penulisan buku catatan ini pun sempat menjadi kontroversi, karena ditulis oleh rekan sel penjara Marco Polo saat Venesia diinvasi Genoa.
Rekannya itu bernama Rustichello dari Pisa. Dikisahkan, Marco mendiktekan cerita perjalanannya pada Rustichello, kemudian dicatat. Akan tetapi, manuskrip asli catatan perjalanan Marco Polo ke Kekaisaran Tiongkok dan dunia timur hilang. Hanya salinannya yang bertahan dari Abad Pertengahan.
Sinolog Inggris dan sejarawan bidang Tiongkok dan Marco Polo, Frances Wood, dalam buku Did Marco Polo go to China? meragukan kisah keluarga Polo. Dia berpendapat bahwa Marco Polo adalah "penipuan terbesar dalam sejarah dunia dan dia tidak pernah pergi ke Tiongkok.
Keluarga Marco Polo dan penulisan informasi serampangan
Hal pertama yang mencurigakan adalah keluarga Polo. Laxman Satya, asisten profesor di Department of History Lock Haven University, Pennsylvania mengatakan bahwa keluarga Polo adalah pedagang kecil yang tidak punya peninggalan berpengaruh di Venesia.
"Klaim Marco Polo terkait dengan keluarga pedagang kaya meragukan dan mencurigakan. Sedikit yang diketahui tentang leluhur Marco Polo di luar generasi ayah dan pamannya," terang Satya di laman Asian Studies, mengulas tulisan Wood.
Kemudian yang meragukan adalah tentang Kubilai Khan di Kekaisaran Tiongkok yang tertarik pada Marco Polo. Marco menyebut, ketertarikan Khan Agung membuat dirinya punya jabatan di pemerintahan Dinasti Yuan dan bisa berkelana ke seluruh Kekaisaran Tiongkok.
Marco mengklaim dirinya diberi mandat oleh Kubilai Khan sebagai Gubernur Kota Yangzhou. Namun, tidak ada buktinya dari zaman itu dari Kekaisaran Tiongkok. "Sama sekali tidak ada catatan tentang Marco Polo di surat kabar Yangzhou," terang Wood.
Wood juga berpendapat, catatan Marco Polo bertajuk Description of the World begitu serampangan. Gaya seperti ini dinilai bahwa Polo tidak pernah benar-benar ke tempat yang disebutkan dalam catatannya. Isi catatannya tidak runut waktu, dan beberapa tempat disebutkan secara acak di berbagai halaman terpisah.
"Bukunya berisi sangat sedikit referensi tentang dirinya atau keluarganya dan lebih banyak dibaca seperti karya geografis atau sejarah daripada catatan pribadi tetnang hal-hal yang dilihat," jelas Satya.
Hans Vogel, profesor kajian Tionghoa di University of Tübingen punya pandangan lain. Dalam artikel Univeristy of Tübingen di Science Daily, Vogel memandang Marco Polo punya penjelasan akurat tentang pusat produksi garam di Tiongkok seperti Changlu, Lianghuai, Liangzhe dan Yunnan.
"Laporannya tentang metode yang digunakan untuk membuat garam di Changlu diperiksa dengan dokumen China dari era Yuan. Garam dalam monopoli Venesia diproduksi dengan cara yang berbeda," terang Vogel.
"Informasi ini dan lainnya, yang keakuratannya belum sepenuhnya dihargai, semuanya menunjukkan bahwa Marco Polo benar-benar melayani Khan Agung," lanjutnya.
"Klaim Marco Polo tentang nilai produksi garam—misalnya, bahwa pendapatan dari Kinsay menghasilkan 5,8 juta saggi emas setiap tahun—dapat dibandingkan dengan nilai tukar uang kertas, membawa kesimpulan bahwa Polo tahu apa dia bicarakan."
Keraguan kebenaran perjalanan: tidak ada cerita tentang Tembok Besar Tiongkok
Wood juga skeptis terhadap perjalanan Marco Polo ke Kekaisaran Tiongkok menyusuri Jalur Sutra darat. Jika dia berjalan dari barat, kemudian menuju jantung pemerintahan Tiongkok, seharusnya Tembok Besar Tiongkok dilihatnya. Akan tetapi, Marco Polo tidak menyebutkan tengara fenomenal itu, padahal keberadaannya sudah ada sejak zaman Dinasti Qin (221-206 SM).
"Pandangan skeptis menunjukkan bahwa Marco Polo tidak menyebutkan Tembok Besar," jelas Vogel.
"Namun penelitian di Timur dan Barat telah menunjukkan bahwa Tembok Besar seperti yang kita kenal adalah produk dari Dinasti Ming (1368-1644) dan tembok sebelumnya telah lama hancur, dan telah kehilangan peran militer yang mereka mainkan di Mongol," lanjut Vogel.
Selain itu, Marco Polo yang disebutkan sebagai pedagang seharusnya memiliki banyak barang. Pada saat kematiannya, Wood menerangkan, tidak ada barang yang berhubungan dengan Kekaisaran Tiongkok. Padahal, Marco diketahui sangat suka kebudayaan Tiongkok dan materialistis, tetapi pembukitannya ini justru seperti bersifat religius.
"Selain Tiongkok, Marco Polo bahkan tidak melihat ibu kota Mongolia di Karakorum," jelas Satya. "Lebih buruk lagi, dia sebenarnya tidak melampaui Persia, namun sebagian besar dari buku itu adalah deskripsi tentang Tiongkok."
Wood dan Satya lebih berpendapat bahwa Marco Polo hanya mengandalkan catatan atau cerita orang Persia tentang dunia Timur Jauh. Wood menambahkan, keluarga Polo punya keakraban dengan Timur Dekat, yang kemungkinan menjadi bahan bagi Marco untuk catatannya. Keluarga Polo diperkirakan tidak pernah berpergian ke luar pos-pos di Laut Hitam dan Konstantinopel.
Hal kecil yang dilewatkan Marco Polo
Selain itu masih ada banyak keraguan dengan catatan Marco Polo. Salah satunya, Marco yang memperkenalkan senjata militer seperti mangonel (pelempar batu besar) dan trebuchet (pelempar batu raksasa untuk meruntuhkan tembok) untuk invasi Mongol ke Xiangyang. Catatan itu meragukan karena invasi Xiangyang berlangsung sebelum kedatangannya.
Ada pula tentang uang kertas. Kekaisaran Tiongkok mengenal uang kertas sejak Dinasti Song (960–1279), dan diterapkan pula oleh Dinasti Yuan. Marco yang menghabiskan waktu sangat lama di Tiongkok tidak punya kemampuan dalam penulisan Tiongkok atau Mongolia.
Baca Juga: Pemberontakan Serban Merah: Akhir Kekaisaran Tiongkok Era Dinasti Yuan
Baca Juga: Menelisik Kebenaran Perjalanan Marco Polo ke Kekaisaran Tiongkok
Baca Juga: Kisah Marco Polo Lintasi Jalur Sutra Menuju Kekaisaran Tiongkok
Baca Juga: Menguak Keunikan India Kuno Lewat Catatan Perjalanan Marco Polo
"Sebagian besar dokumen resmi, surat dalam negeri, dan buku ditulis di atas kertas. Agak membingungkan bahwa Polo tidak menunjukkan minat baik pada sistem penulisan Tiongkok atau Mongolia meskipun ia mengaku pernah bertugas di birokrasi kekaisaran," ujar Satya.
Yang tidak kalah meragukan bagi Wood adalah pengalaman Marco Polo pernah ke Fujian. Di Fujian, penggunaan cetakan balok kayu populer untuk kertas dan porselen, tetapi belum dikenal oleh orang Eropa. Akan tetapi, informasi pencetakan seperti ini tidak hadir dalam catatan Marco Polo.
"Akan sulit bagi orang asing mana pun untuk tinggal di Fujian tanpa memperhatikan buku cetak dan porselen yang begitu banyak dijual di pasar lokalnya," tulis Satya.