Nationalgeographic.co.id—Setelah 88 tahun di bawah kekuasaan Mongol, semangat etnis Han Tiongkok berada pada titik terendah. Setiap aspek kehidupan mereka berada di bawah kekuasaan penguasa Mongol yang tidak berbelas kasih. Namun selalu ada jalan. Ada kisah yang menceritakan bagaimana kue bulan dijadikan alat untuk melawan Mongol. Apakah kisah itu benar-benar terjadi?
Etnis Han Tiongkok diawasi dengan ketat
Karena ketakutan akan pemberontakan, etnis Han tidak dapat bertemu dalam kelompok. Dinasti Yuan Mongol tidak memperbolehkan rakyat Tiongkok memiliki senjata. "Bahkan parang daging dan sayur pun yang dijatah, satu untuk setiap sepuluh keluarga," tulis Natasha Frost di laman Atlas Obscura.
Penjaga Mongol ada di mana-mana, mengawasi semua pergerakan rakyat. Mata-mata bahkan ditempatkan di setiap rumah, sementara kelaparan dan kemiskinan nyata di depan mata.
Ketakutan Dinasti Yuan pun semakin menjadi-jadi. Anak laki-laki yang masih kecil dianiaya, anak perempuan "dihilangkan" sebelum pernikahan mereka. Sebuah hukum Mongol menuntut ibu jari semua anak laki-laki Tionghoa dimutilasi saat lahir sehingga mereka tidak mampu menarik busur.
Kue bulan dijadikan alat propaganda
Rakyat pun tidak tahan dan akhirnya merencanakan pemberontakan. Dua orang yang dikenal melakukan rencana pemberontakan adalah Zhu Yuanzhang dan Liu Bowen. Zhu Yuanzhang kelak menjadi kaisar Dinasti Ming. Sedangkan Liu Bowen adalah seorang penyair, filsuf dan ahli strategi yang luar biasa.
Festival Pertengahan Musim Gugur semakin dekat. Itu adalah waktu di mana setiap keluarga secara tradisional akan bertukar dan makan kue bulan.
Liu mengirim orang ke setiap sudut dari tiga prefektur di bawah kekuasaan Mongol. Orang-orang suruhan itu masing-masing mengunjungi toko kue dan memesan jutaan kue bulan. Pada setiap kue bulan diselipkan selembar kertas yang berbunyi: "Penerangan spiritual tersembunyi di kegelapan, mereka diam-diam membantu orang untuk mencairkan es yang sedingin es. Ambil tindakan pada jam tengah malam, mari kita bunuh tuan rumah tangga bersama-sama!"
Dan begitulah yang mereka lakukan, pada malam Festival Bulan, sehingga orang Tionghoa dibebaskan dari penjajahan Mongol.
Setidaknya, itulah salah satu versi ceritanya. Yang lain mengatakan bahwa pesan itu berbunyi, "Bunuh Tartar pada Malam Tahun Baru!" Ada juga yang berpendapat jika mungkin pesan itu ditulis di atas nasi atau kertas ditempatkan di bawah kue. Mungkin pesannya telah diberi kode dan disusun dengan menggabungkan beberapa kue bulan. Tetapi apakah itu pasti kue bulan?
Menurut sarjana sejarah Tiongkok Hok-Lam Chan, semua itu hanyalah isapan jempol belaka. "Itu tidak masuk akal untuk memilih Liu sebagai penghasut pemberontakan. Dan memuji rencana untuk menyembunyikan pesan pemberontakan dalam kue bulan," tulisnya di buku Yuan Thought: Chinese Thought and Religion Under the Mongols.