Apakah Selir Kaisar Tiongkok Cixi Merupakan Pelopor Gerakan Feminisme?

By Sysilia Tanhati, Kamis, 30 Maret 2023 | 15:09 WIB
Berawal dari selir remaja, Cixi menjadi penguasa de facto Kekaisaran Tiongkok selama beberapa dekade. Memimpin di tengah kaum pria, apakah ia adalah pelopor gerakan feminisme di Tiongkok? (Public Domain)

 

Nationalgeographic.co.idCixi memasuki dunia kekaisaran kuno sebagai selir remaja. Ia dipilih oleh Kaisar Tiongkok karena kecantikan, sikapnya yang baik, dan bakat menyanyinya. Tapi siapa sangka jika dalam beberapa dekade, Cixi malah menjadi penguasa Kekaisaran Tiongkok? Bahkan ada yang berpendapat jika Selir Cixi merupakan pelopor gerakan feminisme di Tiongkok.

Dunia kuno yang didominasi oleh pria

Kekaisaran Tiongkok merupakan dunia yang didominasi laki-laki. Penuh dengan pusaran intrik, bunuh diri paksa, peracunan, dan perebutan takhta.

Oleh kasim, Cixi dikirim untuk melayani Kaisar Xianfeng. Tidak perlu menunggu lama, Cixi bukan saja menemani Kaisar Tiongkok, ia pun turut campur dalam politik.

Setelah kematian Kaisar Xianfeng, mantan selir itu memerintah atas nama ahli waris laki-laki muda — dari balik layar. Sebagai penguasa de facto Kekaisaran Tiongkok pada dekade terakhir Dinasti Qing, ia membangun negeri ajaib yang fantastis. Itu adalah Istana Musim Panas, kawasan luas danau berkilauan, taman mewah, dan paviliun kayu yang rumit di pinggiran ibu kota.

Bagi sebagian orang, mantan selir Cixi adalah pencuri kekayaan kekaisaran. Ia juga dituduh bertanggung jawab atas kekalahan memalukan Kekaisaran Tiongkok oleh Jepang pada 1895. Namun sebagian menganggapnya sebagai pelopor gerakan feminisme di tengah dunia kuno yang didominasi oleh pria.

Cixi, wanita berkemauan keras

Cixi, tampaknya telah mengundang interpretasi revisionis yang memandangnya sebagai seorang feminis. Setidaknya dalam konteks akhir abad ke-19, ketika wanita Tionghoa diperlakukan sedikit lebih baik daripada air liur.

“Sebagai wanita kuat di Kekaisaran Tiongkok, Cixi sering digambarkan haus kekuasaan dan tidak rasional,” tulis Jane Perlez di laman New York Times.

Kembali ke era pra-komunis, julukan perintis feminis bagi Cixi tampaknya cukup masuk akal. Pasalnya, ia memerintah selama hampir 50 tahun, sejak 1861 hingga kematiannya pada 1908. Bukan hanya memerintah belaka, ia menjadi pemimpin di budaya di mana seorang wanita seakan tidak ada harganya.

Seorang sejarawan Tiongkok, Jung Chang, mengevaluasi ulang Cixi dengan biografinya, Empress Dowager Cixi. Chang berpendapat bahwa Cixi membawa Tiongkok abad pertengahan ke zaman modern. Di bukunya itu, Chang menyebut Cixi sebagai negarawan yang luar biasa.

Namun bagi beberapa simpatisam, Chang terlalu murah hati dalam menggambarkan Cixi. Bagaimana mungkin ibu suri menciptakan terobosan ketika sebagian besar kariernya terutama untuk menjaga kelangsungan keluarga kekaisaran alih-alih rakyat?