Tanpa Pewaris, Siapa yang Memerintah Mesir Kuno Setelah Firaun Mati?

By Ricky Jenihansen, Rabu, 5 April 2023 | 14:00 WIB
Sarkofagus firaun Mesir kuno Tutankhamun, yang tidak meninggalkan pewaris takhta ketika dia meninggal secara tak terduga pada usia 19 tahun. (Michele dan Tom Grimm)

 

Nationalgeographic.co.id—Saat Firaun Tutankhamun mati muda dan itu tidak terduga, dia tidak meninggalkan pewaris. Saat itu dia berusia sekitar 19 tahun, antara tahun 1327 SM dan 1323 SM. Lantas siapa yang kemudian memerintah Mesir setelah kematiannya?

Seperti diketahui, Firaun Tutankhamun adalah "raja muda) Mesir kuno yang terkenal naik tahta saat masih kecil. Kematian mendadak Firaun Tutankhamun kemudian jelas membuat terjadi kekosongan kekuasaan yang bisa berakibat pada perpecahan.

Penyelidikan terbaru dari manuskrip kuno mencoba mengungkap hal tersebut. Mereka menemukan, mungkin janda Firaun Tutankhamun mencoba untuk mengambil alih tahta Mesir kuno.

Setelah Firaun Tut meninggal, sebenarnya seorang firaun bernama Ay (juga dieja Aya) naik tahta dan memerintah selama sekitar empat tahun sampai dia meninggal.

Ay adalah seorang pejabat kerajaan senior selama bertahun-tahun dan mungkin adalah ayah dari Nefertiti, istri dari ayah Tut, Akhenaten.

Seperti diketahui, Nefertiti adalah permaisuri Mesir kuno yang kemungkinan besar adalah ibu tiri Raja Tut dan mungkin telah memerintah sebagai firaun dengan haknya sendiri.

Dia hidup selama dinasti ke-18 selama abad ke-14 SM, tetapi tahun kelahiran dan kematian Nefertiti tidak pasti.

Bukti dari hal ini ditemukan dalam gelarnya sebagai "Bapa Tuhan", yang mungkin menyiratkan bahwa Ay adalah ayah mertua Akhenaten.

Aidan Dodson, seorang profesor Egiptologi di Bristol University di Inggris, menulis hal itu dalam bukunya "Amarna Sunset: Nefertiti, Tutankhamun, Ay, Horemheb, and the Egyptian counter-reformation (American University in Cairo Press, 2009).

Tapi Ay tidak disambut baik oleh mantan keluarga penguasa itu. Manuskrip kuno menunjukkan bahwa janda Tutankhamun, Ankhesenamun, sangat ingin mencegah Ay menjadi firaun.

Ia kemudian meminta orang Het, sebuah kerajaan yang berbasis di Anatolia (Turki modern), untuk mengirim seorang pangeran yang dapat menikahinya dan memerintah Mesir, tulis Dodson.

Salinan korespondensi yang tersisa ditemukan lebih dari seabad yang lalu dan terjemahan pertama diterbitkan dalam bahasa Prancis pada tahun 1931, tulis Hans Gustav Güterbock, seorang ahli Het Jerman-Amerika, dalam sebuah artikel tahun 1956 yang diterbitkan dalam Journal of Cuneiform Studies.