Penemuan Keanekaragaman Kepiting yang Tersembunyi di Terumbu Karang

By Utomo Priyambodo, Minggu, 9 April 2023 | 16:00 WIB
Spesimen kepiting Chlorodiella nigra. (Florida Museum of Natural History)

Nationalgeographic.co.id - Indo-Pasifik Barat adalah ekosistem laut terluas dengan keanekaragaman hayati terbesar di Bumi. Banyak spesies hidup di sini dengan rentang habitat yang cukup luas.

Dalam buku The Origin of Species, Charles Darwin mencatat bahwa "... banyak ikan bergerak dari Pasifik hingga Samudra Hindia, dan banyak kerang yang umum ditemukan di pulau-pulau timur Pasifik dan pantai timur Afrika, di meridian garis lintang yang hampir persis berseberangan."

Sepintas, pola yang sama tampak berlaku untuk kepiting. Kepiting chlorodielline, yang umum ditemukan di terumbu karang, terlihat sangat mirip sehingga para ilmuwan telah berjuang untuk membedakan spesies itu dalam kelompok hanya berdasarkan penampilan.

Namun sebuah studi baru mengungkapkan pengecualian yang mengejutkan terhadap aturan keseragaman di seluruh Indo-Pasifik Barat. Meski spesies kepiting chlorodielline dengan rentang yang tidak tumpang tindih seringkali hampir identik, spesies yang menempati wilayah yang sama memiliki ciri unik.

"Mereka semua terlihat sama, sampai Anda membandingkan gonopoda mereka, yang secara struktural kompleks dan sangat spesifik spesies," kata Robert Lasley, penulis utama studi ini yang juga merupakan mantan peneliti pascadoktoral Florida Museum of Natural History, seperti dikutip dari laman Florida Museum.

Gonopoda adalah pelengkap khusus yang digunakan untuk reproduksi yang telah berevolusi berkali-kali dalam berbagai kelompok arthropoda. Mulai dari krustasea, ngengat dan kupu-kupu, dan kaki seribu.

Gonopoda digunakan dengan berbagai cara untuk mentransfer dan menggenggam sperma. Pada kepiting, gonopoda kadang-kadang dilengkapi dengan embel-embel rumit yang membuat mereka tampak seperti spatula dengan mohawk.

Lasley, yang saat ini menjadi kurator krustasea di Biorepository University of Guam, ingin melihat apakah ada pola pada variasi gonopoda yang tampaknya tak berujung dan tak terarah. Untuk melakukan itu, dia perlu mencermati spesies di Indo-Pasifik Barat dan dengan tekun mengumpulkan spesimen selama lebih dari satu dekade.

Dia berpartisipasi dalam banyak kegiatan lapangan di Laut Merah, Singapura, Australia, dan Kepulauan Phoenix. Dia menyelam dan melayang beberapa inci di atas terumbu karang wilayah itu untuk mencari kepiting yang bersembunyi di antara hamparan pecahan karang.

Kepiting chlorodielline sangat beragam di wilayah segitiga terumbu karang, tempat yang diselingi oleh kepulauan luas yang membentang dari Indonesia hingga Kepulauan Solomon. Perairan dangkal di sekitar pulau-pulau ini mendukung sekitar 76% spesies karang dunia dan lebih dari seperempat dari semua ikan terumbu karang.

Kepiting chlorodielline, yang sebagian besar tumbuh tidak lebih besar dari biji jagung, duduk di dekat dasar rantai makanan di ekosistem ini.

"Mereka termasuk krustasea terumbu karang yang paling melimpah, yang membuat mereka sangat penting," kata Lasley.

"Mereka tinggal di tempat yang pada dasarnya adalah bangunan apartemen yang terbuat dari karang mati, dan jumlahnya sangat banyak sehingga setiap kali Anda mengambil sepotong puing karang, mereka akan tumpah."

Baca Juga: Balas Dendam Memakan Kepiting Hidup yang Berujung Malapetaka

Baca Juga: Selidik Cangkang Kepiting di Gua Neanderthal Berusia 90.000 Tahun

Baca Juga: Bagaimana Ilmuwan Tahu Gurita, Kepiting, Lobster Bisa Merasakan Sakit? 

Sebelum Lasley dapat menentukan mengapa kepiting-kepiting kecil itu memiliki gonopoda yang sangat berbeda, dia pertama-tama harus mencari tahu bagaimana spesies chlorodielline terkait satu sama lain. Hal ini bisa dia capai melalui analisis DNA yang diekstrak dari spesimen museum.

Para peneliti kemudian menambahkan informasi mengenai rentang masing-masing spesies dan bentuk gonopoda mereka.

Apa yang mereka temukan membawa mereka ke salah satu misteri biologi kelautan yang paling membingungkan. Ada beberapa unsur utama yang diperlukan seleksi alam untuk membuat spesies baru, tetapi dua hal yang paling penting adalah variasi genetik dan isolasi.

Banyak invertebrata laut—termasuk kepiting—memiliki tahap larva, periode ketika individu itu melayang melintasi lautan dunia dalam bentuk plankton mikroskopis. Dengan kapasitasnya yang kuat untuk penyebaran jarak jauh, bagaimana mereka tetap terisolasi cukup lama untuk evolusi guna menghasilkan keragaman?

Naturalis seperti Darwin melihat Indo-Pasifik Barat sebagai satu kumpulan air yang sangat luas. Wilayah ini tidak terganggu oleh penghalang geografis, seperti celah samudra atau zona mati yang tidak produktif, yang sebaliknya akan bertindak sebagai katalisator dalam proses spesiasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jarak dan waktu juga dapat menjadi penghalang. Banyak kepiting chlorodielline memiliki wilayah jelajah yang membentang di seluruh Indo-Pasifik Barat. Analisis genetik mengungkapkan spesies samar ini perlahan-lahan mengakumulasi perbedaan dalam DNA mereka selama jutaan tahun.

Namun baru setelah kerabat dekat mereka dipersatukan kembali setelah lama berpisah, perbedaan genetik itu tampak terwujud dalam satu cara yang aneh. Dalam hampir setiap kasus, kerabat dekat dengan wilayah jelajah yang tumpang tindih memiliki gonopoda berbentuk unik, tetapi sebaliknya terlihat persis sama.

"Apa yang bisa kita katakan adalah kepiting ini mulai menyimpang secara genetik di wilayah geografis yang berbeda, dan kemudian perbedaan gonopoda adalah bagian penting dari proses spesiasi yang terjadi di ujung ekor," ujar Lasley.

Lasley tidak yakin mengapa gonopoda ini hanya mulai berubah ketika dua spesies berada dalam jarak dekat. Namun, dia menduga itu adalah sesuatu yang melekat dalam cara kepiting ini bereproduksi, yang ingin dia uji dalam penelitian selanjutnya.

Untuk saat ini, hasil studi menunjukkan bahwa jauh lebih banyak variasi yang ada di jantung ekosistem laut yang paling kaya spesies di Bumi daripada yang diduga sebelumnya. Sementara itu, mesin yang menggerakkan keanekaragamannya belum sepenuhnya ditemukan.

Makalah studi ini telah terbit di jurnal Molecular Phylogenetics and Evolution.