Menyeimbangkan Pertanian Pangan 8 Miliar Manusia dan Ekosistem Dunia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 17 April 2023 | 13:08 WIB
Bertambahnya manusia turut meningkatkan kebutuhan pangan. Pertanian pun harus digenjot, tetapi kerap menggeser lahan yang kaya ekosistem. Bagaimana menyiasatinya? (Sigit Pamungkas)

Nationalgeographic.co.id—Sudah lebih dari delapan miliar populasi manusia hari ini. Ketahanan pangan dunia menjadi hal yang harus dikhawatirkan, karena semua orang membutuhkan makanan demi bertahan hidup.

Masalahnya, tantangan manusia di masa depan adalah perubahan iklim yang menyebabkan berbagai dampak hari ini. Tidak jarang penipisan sumber daya alam, erosi, bencana, dan polusi membuat tantangan bagi sektor pertanian di dunia.

Selain itu, di Indonesia, menurut peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Lukas Nainggolan, semakin sedikitnya minat anak muda bekerja di bidang pertanian.

Hal itu disebabkan rendahnya kesejahteraan petani, rentannya dunia pertanian yang bergantung pada sistem kerja alam, dan sedikitnya dorongan sosial terhadap pekerjaan petani—Terkait populasi dan regenerasi petani, bisa Sahabat simak selengkapnya dalam majalah National Geographic Indonesia edisi April 2023.

Sementara, sebagai jawaban permasalahan pangan, sawah terus dibuka dengan mengalihfungsikan lahan hutan. Meski menjawab pasokan pangan, perubahan fungsi berdampak pada berubahnya sistem ekologi dan ekosistem di hutan. Akhirnya justru krisis iklim tidak terbendung, sehingga berbagai dampak bencana dihadapi manusia.

Sepertinya kita memerlukan taktik baru dalam memenuhi kebutuhan pangan. Sebuah makalah di PNAS Nexusdipublikasikan Maret 2023, menawarkan desain rancangan agrikultur yang melibatkan teknologi. Penelitian ini dipimpin oleh Barath Raghavan, profesori ilmu komputer di University of Southern California (USC), AS.

Raghavan menyebutnya sebagai "agroekologi komputasi" sebagai bidang penelitian baru yang menyatukan teknologi dan keahlian pertanian. Penelitian seperti ini bisa mengembangkan pemahaman bidang pertanian yang beragam berdasarkan ekosistem alami.

“Bagaimana kita bisa merancang ekosistem yang produktif dan lestari seperti hutan alam, tapi bukannya menghasilkan makanan untuk satwa liar, malah menghasilkan makanan untuk manusia?” kata Raghavan, dalam rilis USC.

“Ini masalah yang sangat sulit karena merancang ekosistem adalah sistem alami yang sangat kompleks, dinamis. Kami mencoba membuat alat komputasi yang dapat mengetahui cara kerja ekosistem, sehingga kami dapat menanam makanan secara berlimpah dan berkelanjutan.”

Pemahaman ini bermula dari kebiasaan Rahavan menanam 150 tanaman berbeda yang bisa dimakan di halaman rumahnya. Dia pun menaruh minat pada komputasi bisa bekerja pada pertanian berkelanjutan.

Melalui agroekologi komputasi ini, Raghavan menerangkan, bahwa petani akan terbantukan dalam pemilihan tanaman. Selain itu, memungkinkan petani untuk pemilihan penanaman, irigasi, dan mengeksplorasi desain potensial yang berbeda.

Dengan demikian dapat mengoptimalkan produksi pangan lebih hijau. Hal itu juga termasuk bebas pestisida yang berasal dari bahan bakar fosil. "Cara berpikir yang benar-benar baru tentang pertanian,” tuturnya.

Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melakukan pengamatan terhadap salah satu jenis tanaman yang berad (Rahmad Azhar/National Geographic Indonesia)

Lebih lanjutnya, Raghavan dan tim membuat konsep yang disebut "ruang keadaan". Ruang ini akan mewakili semua konfigurasi sistem pertanian yang memungkinkan. Dalam konsep itu menghitung variabel ruang pertanian, seperti jenis tanaman atau tanah, kondisi cuaca, irigasi, pemupukan, atau sistem pengendalian hama.

Lewat cara ini, jelas para peneliti, memungkinkan petani dan peneliti pertanian untuk bisa mengeksplorasi jalan dan strategi yang tersedia. Yang terlibat dalam industri pertanian bisa mengambil ruang atau variabel tertentu yang bisa dihitungkan di atas, ditempatkan dalam sistem untuk melihat mana yang berhasil.

Sistem ini melibatkan analitik dan pembelajaran mesin pada variabel. Sehingga, petani dan peneliti bisa melihat berbagai pendukung keberhasilan di sawah atau ladang. Misalnya, menganalisis pola antara hasil panen dan kadar air tanah, atau menyimulasikan penanaman berbagai jenis tanaman bersama untuk keanekaragaman hayati.

“Begitu kita dapat memahami pertanian dengan cara ini, kita kemudian dapat membingkai ulang banyak pertanyaan penelitian dan pertanyaan perencanaan pertanian sebagai pencarian melalui ruang dari semua kemungkinan keadaan pertanian yang mungkin berakhir, dengan keadaan tertentu yang lebih diinginkan daripada yang lain,” lanjut Raghavan.

Baca Juga: Teknik Pertanian Tradisional Asia Tenggara Bisa Menjadi Solusi Global

Baca Juga: Sistem Lumbung Pangan Punya Masalah di Bidang Lingkungan dan Sosial

Baca Juga: Menyulap Limbah Padi Indonesia Menjadi Energi Listrik Berbiaya Rendah

Baca Juga: Bahu-membahu Nelayan Wujudkan Perikanan Berkelanjutan Papua Barat Daya 

“Hal ini memungkinkan kami untuk membandingkan dan membedakan berbagai pendekatan pertanian, mengeksplorasi dan menggabungkan teknik, dan kemudian mencari ruang keadaan dalam simulasi untuk teknik pertanian baru yang belum pernah dicoba sebelumnya dan di mana coba-coba di dunia nyata akan jauh terlalu mahal. dan memakan waktu.”

Raghavan juga menyimpulkan bahwa cara ini bisa membantu para petani yang hendak memulai cocok tanam untuk meringkas waktu. Selama ini di ladang atau sawah, petani kerap melakukan eksperimen untuk mengetahui mana yang gagal dan berhasil.

“Sebaliknya, dengan kerangka kerja konseptual dan akhirnya kerangka kerja perangkat lunak ruang keadaan," Raghavan menjelaskan.

"Seorang petani dapat menguraikan tujuan—seperti panen yang beragam dengan hasil tinggi dan kemungkinan keuntungan tinggi untuk sebidang tanah tertentu—dan meminta sistem menjelajahi ruang keadaan dan menghasilkan kemungkinan campuran tanaman, penempatan, dan teknik pengelolaan yang memenuhi kriteria petani.”