Dhatusena membantah semua klaim tentang harta karun, tetapi gagal meyakinkan putranya tentang fakta tersebut. Migara terus menekan Kashyapa untuk mengambil tindakan yang lebih drastis terhadap mantan raja. Padahal saat itu Dhatusena sudah sangat menderita.
Dalam upaya terakhir untuk melarikan diri dari penjaranya, Dhatusena mengirim pesan kepada Kashyapa bahwa dia siap untuk menunjukkan harta karun itu. Ia akan melakukannya jika dibawa ke Kala Wewa, mahakarya irigasi Dhatusena yang hebat.
Kashyapa menjadi penuh harapan. Ia memerintahkan anak buahnya untuk membawa ayahnya ke Kala Wewa dan mengambil harta yang sulit ditemukan. Sesampainya di waduk, dia kemudian menunjuk ke waduk dan berkata, “Di sini letak seluruh harta kerajaan.” Konon Dhanuseta menekankan nilai waduk itu untuk masyarakat berbasis pertanian.
Berita tak terduga itu disampaikan kepada Raja Kashyapa yang semakin marah. Ia masih percaya bahwa ayahnya menyimpan harta itu untuk kembalinya Moggallana. Ini mengancam posisi Kashyapa yang sudah lemah sebagai raja. Jika raja tua memiliki harapan untuk kembalinya Moggallana, itu berarti para pendukung Dhatuseta pun memiliki harapan yang sama.
Karena marah, Kashyapa memerintahkan ayahnya sendiri untuk dipenjara lagi. Dhatusena meninggal dalam kesedihan akibat diabaikan oleh putranya dan dibenci oleh Migana.
Mundur ke benteng di atas batu raksasa
Setelah mengeklaim takhta untuk dirinya sendiri, Kashyapa mencoba berdamai dengan rakyatnya. Namun, raja baru itu tidak diterima oleh rakyanya. Meski Dhatusena tidak dibunuh secara langsung oleh Kashyapa, ia meninggal akibat semua tindakan sang putra.
Dia telah melakukan dosa besar di mata para pengikut Buddha. Bosan dengan penolakan terus-menerus dan takut akan pembalasan dari Moggallana, Kashyapa melarikan diri. “Ia memindahkan ibu kota kerajaan dari kedudukannya di Anuradhapura ke sebuah batu raksasa di Sigiriya,” tulis Joanna Gillan di laman Ancient Origins.
Istana dan benteng di atas awan
Kashyapa terinspirasi oleh kota mitologi Buddha Alakamanda, kota dewa yang indah yang dibangun di atas awan. Ia pun mulai membangun kota dan istana barunya di Sigiriya. Berlawanan dengan aturan ajaran Buddha untuk menghindari pemanjaan diri, Kashyapa merasa tidak perlu terikat oleh aturan-aturan ini. Di sisi lain, itu dilakukan karena ia merasa ditolak oleh rakyatnya.
Kashyapa memilih menggunakan kekayaannya untuk merancang kerajaan mewah untuk dirinya sendiri. Istana itu dilengkapi dengan taman, kolam, dan air mancur yang indah. Tembok barat Sigiriya dicat dengan lukisan wanita cantik. Tembok Cermin dibangun, memungkinkan raja baru untuk mengagumi dirinya sendiri saat dia berjalan melewatinya.