Nationalgeographic.co.id—Heraclius, Kaisar Bizantium dari tahun 610 hingga 641, dianggap mewariskan sejumlah bencana pada para penerusnya. Di sela-sela bencana, Heraclius menunjukkan prestasi bagi kekaisaran. Tetapi dia dan ahli warisnya menyebabkan lepasnya sejumlah wilayah kekaisaran. Benarkah kepemimpinannya di Kekaisaran Bizantium itu dikutut?
Heraclius lahir di Anatolia timur. Ayahnya, mungkin keturunan Armenia, adalah gubernur provinsi Romawi di Afrika. Saat ayahnya memimpin, seruan datang dari Konstantinopel untuk menyelamatkan Kekaisaran Romawi Timur dari teror dan ketidakmampuan Kaisar Phocas. Sang gubernur segera mengirim pasukan bersenjata yang dipimpin oleh Heraclius, putranya yang saleh.
Pada bulan Oktober 610 Heraclius berlabuh di Konstantinopel dan menggulingkan Phocas. Heraclius, berusia 36 tahun, diproklamirkan sebagai kaisar baru di Kekaisaran Bizantium. Sayangnya, ia memimpin sebuah kekaisaran yang hampir runtuh.
Serentetan kampanye militer yang gagal
Awalnya, petualangan militer Heraclius merupakan bencana. Itu diawali dengan kekalahan dari Persia, kehilangan Yerusalem pada 614 dan sebagian Mesir (618). “Kehilangan Mesir berarti kehilangan sumber biji-bijian utama kekaisaran,” tulis Mark Cartwright di laman World History encylopedia. Kegagalan terus berlanjut hingga Afrika Utara.
Keadaan menjadi sangat buruk. Itu membuat Heraclius dengan serius mempertimbangkan untuk kembali ke Kartago dan mendirikan ibu kotanya di sana. Namun uskup Konstantinopel Sergios I membujuknya untuk tetap tinggal. Demikian juga sebagian rakyat Kekaisaran Bizantium. Mereka membayangkan jika kaisar melarikan diri dan melepaskan takhtanya.
Hal-hal membaik di timur dari 622. Saat itu Heraclius akhirnya menyerang dengan pasukannya yang terlatih serta angkatan laut yang masih kuat. Mereka memperoleh beberapa kemenangan melawan Khosrow II, Raja Persia.
Namun ibu kota dikepung oleh kekuatan gabungan 80.000 Avar dan Persia pada tahun 626 M saat Heraclius pergi melakukan serangan militer. Heraclius mengirim sepertiga pasukannya kembali untuk mempertahankan Konstantinopel.
Ibu kota harus menahan serangan mesin pengepungan dan rudal. Para pembela diorganisir oleh Jenderal Bonos. Sergios menggiring penduduk kota di sekitar tembok sambil mengacungkan ikon Perawan Maria. Perlindungan yang lebih praktis dan akhirnya berhasil ditawarkan oleh benteng kota yang tangguh.
Di luar kekaisaran, pasukan berhasil menghancurkan pasukan Persia di pertempuran 11 jam di Niniwe pada tahun 627. Heraclius, memimpin pasukannya secara pribadi dengan baju zirahnya yang terkenal berkilauan. Sang kaisar dikatakan telah membunuh lawannya, Jenderal Razates, dalam pertempuran tunggal. “Ia memenggal kepala orang Persia itu dengan satu tebasan pedangnya,” kata Cartwright.
Sebagai bonus tambahan dari kemenangan, pundi-pundi Kekaisaran Bizantium terisi kembali setelah penaklukkan Persia. Khosrow II digulingkan dan berakhirlah perang selama 400 tahun antara kedua kekaisaran.
Benarkah Heraclius dikutuk karena melakukan pernikahan sedarah?
Tampaknya Heraclius memimpin kekaisaran di waktu yang salah. Masalah datang bertubi-tubi, seolah-olah Heraclius tidak memiliki cukup masalah untuk mempertahankan kekaisaran dari luar.
Saat ia berusaha mengatasi masalah dari luar, ada banyak intrik untuk menantang status quo dari dalam. Penyebab utama gangguan tampaknya adalah istri kedua sang kaisar sendiri, Martina. Selain berperan sebagai istri, Martina juga keponakan Heraclius.
Awalnya, pernikahan sedarah ini tidak dikritik oleh rakyat Bizantium karena keberhasilan Heraclius melawan Persia. Namun, masalah muncul. Tentara Arab menjarah satu demi satu kota Kristen. Ini membuat orang-orang mulai berbisik bahwa Tuhan telah meninggalkan Bizantium karena dosa kaisar mereka.
Fakta bahwa enam dari sembilan anak pasangan itu lahir cacat atau meninggal saat masih bayi seakan memperkuat pandangan rakyat. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak senang dengan tindakan Heraclius dan orang-oranglah yang pada akhirnya akan membayar semua itu.
Kaisar mengalami penderitaannya sendiri berupa penyakit yang membuatnya menua melebihi usianya. Heraclius meninggal pada Februari 641 dan dimakamkan di mausoleum kekaisaran di Gereja Rasul Suci di ibukotanya.
Setelah suaminya meninggal, Martina bersekongkol agar putranya sendiri, Heraklonas, dicalonkan sebagai kaisar berikutnya. Dalam hal ini, dia setengah berhasil ketika Heraklonas berbagi takhta dengan saudara tirinya Constantine III. Constantine III adalah putra Heraclius dan mendiang istri pertamanya, Eudokia.
Tapi Constantine meninggal karena TBC 3 bulan kemudian. Putra Martina menjadi kaisar tunggal. Martina menjadi wali kaisar dan mengangkat dirinya sebagai rekan kaisar.
Baca Juga: Penemuan Sandal Kuno Ungkap Tren Mode di Zaman Kekaisaran Bizantium
Baca Juga: Sederet Kebiasaan Aneh yang Dianggap Normal di Kekaisaran Bizantium
Baca Juga: Berkat Balap Kereta, Kekaisaran Bizantium Selamat dari Invasi Suku Hun
Baca Juga: Inilah Theodora, Pelacur yang Menjadi Permaisuri Hebat di Bizantium
Tidak lama kemudian, Bizantium kehilangan Aleksandria ke tangan orang Arab. Karena itu, ibu serta anak laki-laki yang tidak populer itu pun digulingkan. Raja baru, Valentinos Arsakuni memotong lidah Martina dan memotong hidung Heraklonas. Keduanya pun dibuang ke Rhodes. Mutilasi ini menandakan bahwa mereka tidak layak untuk memerintah. Sejak itu, mutilasi menjadi praktik yang umum dilakukan pada perselisihan suksesi selanjutnya.
Hanya beberapa bulan kemudian, putra Konstantinus III, Konstans II, menggulingkan Valentinos dan memerintah selama 27 tahun. Di masa pemerintahannya, Kekaisaran Bizantium semakin hancur dan kehilangan lebih banyak wilayah.
Tampaknya, Heraclius memimpin di waktu yang salah. Saat ia menduduki takhta Bizantium, kekaisaran dalam kondisi kacau balau. Rakyat yang menderita dan tak berdaya pun mencari kambing hitam. Mereka menganggap Heraclius dan Kekaisaran Bizantium dikutuk Tuhan akibat pernikahan sedarahnya. Akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya.