Nationalgeographic.co.id—Kumandang azan bergema, terdengar merdu di Astoria Park di Queens, New York, pada momen perayaan Hari Raya Idulfitri. Pagi yang cerah, jadi momen yang pas untuk menjalin hubungan silaturahmi.
"Ini adalah momen berharga, setelah sebelumnya dibelenggu tanpa adanya perayaan salat karena pandemi," tulis Erum Salam kepada The Guardian dalam artikelnya ‘Sad and so unfair’: Palestinian Americans celebrate a painful Eid yang terbit pada 15 Mei 2021.
Dalam ritus umat muslim di seluruh dunia, bulan suci Ramadan yang sakral, akan ditutup dengan perayaan Idulfitri sebagai penanda pergantian bulan dalam kalender Islam, Hijriyah. Bulan Ramadan menuju bulan Syawal akan ditandai dengan momen Idulfitri.
Dari sana, semua muslim memulai sarapan pagi dengan berhenti berpuasa. Mulai terdengar gema takbir yang khas saling bersahutan, beriringan dengan para muslim terlihat keluar dari rumah-rumahnya dengan pakaian baru nun bagus.
Sebuah halaman lapang di Astoria Park mulai terhias dengan dekorasi plastik yang bertuliskan "Happy Eid Fitr (Selamat Hari Raya Idulfitri)," sebagai penanda tempat yang dituju para jamaah muslim di Queens, New York.
Sejumlaah jamaah pria maupun wanita mulai masuk dan mengisi ke bagian masing-masing (umumnya pria menempati bagian baris depan dan wanita di barisan belakang). Mereka mulai membentangkan sajadah kecil di rumput untuk turut dalam momen suci, hari raya besar umat muslim yang kemudian dilanjutkan dengan salat, ceramah dan doa singkat.
"Seketika anak-anak berlarian saat orang tua mereka mencoba untuk tetap khidmat dan berkonsentrasi pada salat hari raya sebagai bagian dari pengabdian spiritual mereka," imbuh Erum.
Namun, bagi sejumlah muslim Palestina yang merayakan momen lebaran mereka di New York, itu adalah momen yang menyedihkan dan menyakitkan, bila mengenang tanah air mereka yang terus menerus diliput kekerasan.
“Saya di sini karena dua alasan: Shalat Idulfitri dan kedua, menenang pada hari ini di seluruh Palestina—di Gaza, Tepi Barat—ada orang yang disiksa dan digantung,” kata Anas Shuaib kepada The Guardian. Suatu pernyataan reflektif diutarakan:
"Saya orang yang damai. Saya ingin perdamaian di kedua sisi (Israel-Palestina), tetapi perdamaian tidak kunjung datang, apalagi mengorbankan hak-hak rakyat (Palestina). Ketika hal-hal ini terjadi dan rakyat Palestina menanggapinya, saya tidak merasa sedih ketika pemerintah Israel mengeluarkan air mata buaya."
Anas Shuaib meneruskan, "mereka (Israel) tidak akan peduli (dengan penderitaan yang terjadi kepada warga Palestina) dan pemerintah Amerika mendukung mereka (Israel)." Anas menyoroti adanya kekerasan yang terjadi setiap harinya di Palestina.
Kekerasan itu terjadi dan meletus di Gaza dan Yerusalem, bermula karena adanya pemindahan paksa pemukim Israel terhadap warga Palestina yang tinggal di lingkungan Sheikh Jarrah.
Begitupun aparat keamanan dan polisi Israel mulai menyerbu masjid al-Aqsa—situs tersuci ketiga bagi umat Islam—selama malam terakhir Ramadan. Organisasi militan Palestina, Hamas, mulai menembakkan roket kepada Israel sebagai pembalasan—merespon serangan oleh tentara Israel yang dilakukan sebelumnya.
Konflik juga terjadi, kekerasan komunal di Palestina antara warga Yahudi dengan Arab di kota-kota campuran. Menurut laporan kementerian kesehatan Gaza, lebih dari 120 orang tewas termasuk setidaknya 31 anak-anak menjadi korbannya.
Secara mengejutkan, Joe Biden mengatakan bahwa "Israel memiliki hak untuk membela diri." Hal inilah yang lantas memicu kemarahan dari orang Amerika keturunan Palestina dan beberapa anggota parlemen AS yang progresif.
Tiffany Cabán, calon dewan kota New York, adalah seorang progresif yang mendapat dukungan dari sayap kiri pendukung partai Demokrat nasional. Ia menghimbau kepada segenap muslim di Amerika untuk membangun solidaritas.
“Saya telah belajar banyak dari komunitas muslim yang cantik dan kaya di sini. Kami telah berdiri bersama dalam begitu banyak pertarungan. Saya hanya bisa mengirimkan begitu banyak cinta dan solidaritas kepada keluarga Palestina. Saya mengimbau masyarakat muslim Amerika untuk berdiri dalam solidaritas, ”katanya kepada The Guardian.
Salat Idul Fitri dan ceramah yang dipimpin oleh Zohran Kwame Mamdani, anggota majelis Astoria, menuai pujian dan antusias. Sebagai pengganti tepuk tangan, segenap muslim mengucap "Takbir” yang menggelegarkan setiap sudut venue outdoor Astoria Park.
"Kami tahu kebebasan kami, kegembiraan kami, perjuangan kami—tidak lengkap tanpa perjuangan setiap Muslim lainnya di seluruh dunia. Mulai dari Palestina, Kashmir, Uighur di Tiongkok, hingga saudara-saudara kita di Suriah—untuk setiap muslim di seluruh dunia ini," tegas Kwame dalam ceramahnya.
Baca Juga: Ragam Tradisi Suka Cita Perayaan Idulfitri di Berbagai Belahan Dunia
Baca Juga: Silaturahmi Belanda Saat Lebaran, Berujung Petaka bagi Dipanagara
Baca Juga: Wetu Telu dan Harmoni Lebaran Adat Sasak di Kaki Gunung Rinjani
Baca Juga: Kiat Jaga Diri Supaya Tak Makan Terlalu Banyak Saat Merayakan Lebaran
Setelah salat Idulfitri, keluarga-keluarga mulai saling berpelukan dan menyapa satu sama lain. Banyak yang menuju ke sekitar danau untuk bertemu dengan teman-teman lainnya dan menghabiskan waktu, sembari menikmati cuaca pagi yang cerah. Sama halnya dengan Diana Salahadin dan ibunya.
Diana Salahadin berkata: "Saya seorang mahasiswa fashion design. Saya selalu memasukkan Palestina dan konfliknya ke dalam desain saya. Saya merasa senang karena lebih banyak orang yang sadar sekarang."
Ibunya Diana, Amal Salameh adalah saksi sejarah dari kekerasan orang-orang Israel terhadapnya. "Ketika itu saya masih remaja, dan keluarga saya mendapat perlakuan kasar di Sheikh Jarrah," ungkapnya.
Dengan semangatnya, ia menambahkan: "Sungguh menyedihkan dan sangat tidak adil. Mereka (Israel) mengambil semuanya. Tapi kami akan berjuang untuk itu, hingga pada akhirnya Palestina akan bebas, tetapi kami harus berjuang sampai darah kami mencapai lutut kami untuk itu."