Demam Babi Afrika Mengintai Asia Tenggara, Bagaimana Mencegahnya?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 28 April 2023 | 13:30 WIB
Virus demam babi afrika mengintai Asia Tenggara. Meski tidak menyerang manusia, ada peternak mengalami kerugian. Bagaimana penanggulangannya? (Lutfi Fauziah)

Nationalgeographic.co.id—Baru-baru ini beberapa negara di Asia Tenggara digegerkan oleh penyakit demam babi Afrika (ASF). Penyakit ini memang tidak dapat menular ke manusia, karena virusnya hanya bisa menyerang sel tertentu pada babi. Namun, dampaknya bisa merugikan dunia peternakan seperti halnya PMK pada hewan ternak 2022 silam.

Dunia mulai bergerak cepat untuk menanggulangi penyakit demam babi Afrika ini, termasuk Asia Tenggara. Penyakit ini sebelumnya diketahui sempat menular dan mencapai Tiongkok pada 2018. Namun, penyebarannya mulai bergerak ke selatan, mengancam babi domestik dan liar.

Penyakit demam babi Afrika memang tidak terlalu berbahaya bagi manusia, tetapi pada babi menyebabkan demam tinggi, pendarahan internal, dan paru-paru berisi cairan. Penyakit ini telah membunuh hingga 90 persen hewan yang terinfeksi.

Penyakit ini awalnya tersebar di sebagian besar Afrika dan menyebar ke Eropa Barat pada akhir 1950-an. Kemudian penyebaran demam babi Afrika terhenti pada pertengahan dekade 1990-an.

Barulah pada 2007, penyakitnya merebak di Georgia, dan terus ke timur sebagaimana yang dikonfirmasi Tiongkok pada Agustus 2018.

Indonesia baru-baru ini digegerkan dengan merebaknya demam babi ini. Februari lalu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mencatat sudah ada sembilan kabupaten telah terpapar demam babi Afrika.

Penyakit demam babi Afrika pertama kali dilaporkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) pada 2019. Deteksi pertamanya di Provinsi Sumatra Utara. Laporan itu kemudian tersebar di berbagai provinsi termasuk di Bangka Belitung, Banten, Yogyakarta, NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.

Baru-baru ini, tepatnya pada 19 April 2023, Singapore Food Agency (SFA) menyetop impor babi dari Batam, karena melaporkan keberadaan penyakit demam babi Afrika. Melansir Kumparan, Batam adalah tempat yang besar dalam ekspor babi Indonesia. Babi bukanlah pangan utama di Indonesia, tetapi punya peran dalam perdagangan. Di Batam, setiap hari terdapat 1.000 babi yang diekspor.

Indonesia kemudian segera melakukan penyelidikan dengan mengambil sampel darah dan spesimen organ babi peternakan di Pulau Bintan, Batam, Kepulauan Riau.

"Mereka (Singapura) juga ingin mengetahui kepastian mengenai dugaan ternak di Pulau Bulan terjangkit ASF, karena ini menyangkut kepentingan dua negara," terang Aris Hadiyono, Kepala Balai Karantina Pertanian kelas II Tanjung Pinang di Harian Kompas.

Dirk Pfeiffer, epidemiolog hewan di City Univeristy of Hongkong menjelaskan bahwa berbagai upaya penanggulangan demam babi di berbagai negara tidak berhasil. Pihak berwenang di seluruh wilayah telah mengakui bahwa "kita harus belajar untuk hidup dengan virus," terangnya, dikutip dari Science.

Sebagai langkah pengendalian penyakit peternakan ini, Tiongkok lebih memilih pada kebijakan eliminasi. Kebijakan ini memusnahkan ternak dengan hewan yang terinfeksi dan melumpuhkan babi di zona tiga kilometer sekitar peternakan yang terinfeksi.

Petani dan peternak akan diberi kompensasi atas kerugian ini. Di sisi lain, kata Pfeiffer, kampanye ini justru menggeser peran babi ternak dengan babi industri. Dia menerangkan, sebelum merebaknya virus ini, ada 40 juta peternak kecil babi. Namun, jumlahnya dipotong setengahnya dan pasar daging babi direbut oleh industri besar.

Sementara beberapa negara Asia Tenggara tidak bisa menerapkan yang Tiongkok lakukan. Pfeiffer mengatakan, sebagian besar peternak di Asia Tenggara memelihara babi 10 hinga 20 ekor. Tentunya, jika menerapkan langkah Tiongkok akan menyebabkan kehilangan pendapatan bagi peternak, bahkan pemerintah sekalipun memberi kompensasi.

Babi berjanggut di hutan hujan Kalimantan atau Borneo. (Jessica Suarez via Berkeley Rausser )

"Secara realistis kita tidak dapat terus memusnahkan babi, tidak menyelesaikan masalah," tuturnya.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) punya pedoman untuk menangkal penyebaran demam babi Afrika. Mereka merekomendasikan agar peternak kecil membatasi pergerakan babi, membatasi pengunjung peternakan, mendisfeksi kandang dan kendaraan secara terartur, dan menggunakan pakaian dan sepatu bot bersih sebelum menggembala.

Langkah ini merupakan cara yang berfokus pada peningkatan biosekuriti untuk menahan wabah. Penerapannya pernah diuji di Filipina.

Baca Juga: Di Hutan Hujan Kalimantan, Manusia dan Babi Berjanggut Saling Terikat

Baca Juga: Peran Anjing Bagi Kehidupan Yunani, Memburu Babi Hutan Hingga Perang

Baca Juga: Kornea Rekayasa dari Kulit Babi Ini Memulihkan Penglihatan Tunanetra

Baca Juga: Teknologi Ini Memulihkan Fungsi Sel Organ pada Babi Setelah Kematian

Baca Juga: Sekerat Hikayat Menu Babi Nusantara sampai Resep Warisan Bung Karno

Sementara itu, babi liar endemik Asia Tenggara seperti babi hutan dan babi berjanggut juga harus dipikirkan dalam stretegi menghadapi demam babi Afrika. Namun, tidak semuanya dapat dipantau. Babi berjanggut yang merupakan endemik di Kalimantan, belakangan tidak muncul di kamera pemantauan.

"Salah satu kesulitan terbesar dalam memahami skala penyebaran ASF [di alam liar] adalah, kurangnya data yang akurat," kata Sui Heon, ekolog lapangan Southeast Asia Rainforest Research Partnership.

Pemerintah Malaysia pun menerapkan pelarangan perburuan hewan di Sabah demi melindungi babi liar. Hal ini disebabkan jumlahnya yang semakin sedikit oleh berbagai ancaman. Akan tetapi, penanggulangan penyebaran demam babi Afrika bagi babi liar akan menjadi tantangan. Sebab, akan sulit menangkap dan memvaksinasi.

Itu sebabnya, para ahli cenderung memilih pengendalian demam babi Afrika dengan cara biosekuriti, bukan vaksinasi.