Lebih lanjut dalam Kolonial Verslag tahun 1892 yang dikutip Van Deventer, para pengusaha batik tulis Lasem menghadapi ancaman dari ‘batik imitasi’, batik yang dibuat dengan cap dan diproduksi massal.
Namun, para pengusaha dan pematik di Lasem konsisten mempertahankan cara dan motif tradisional batik Lasem, sehingga ‘batik imitasi’ tidak terlalu popular di Lasem masa itu.
Rupanya, di masa lalu, batik Lasem sudah menghadapi ancaman batik yang tidak dibuat dengan cara mencanting. Sejatinya ancamannya mirip dengan kondisi sekarang, ketika rumah-rumah batik tulis menghadapi teknik ‘malam dingin’, sablon, bahkan, kain printing motif batik.
Beruntung, para seniman batik Lasem masa kini masih mempertahankan keberadaan batik tulis, walaupun kemunculan kain ‘printing’ motif Lasem itu juga akibat permintaan konsumennya.
Satu hal menarik yang dikutip oleh Van Deventer dari Kolonial Verslag adalah munculnya tren kain yang dihiasi warna-warni ‘met kleuren vesierde’. Warna yang dimaksud adalah merah dari akar mengkudu, biru nila indigo, dan soga dari kayu tegeran pada 1890-1891.
Rupanya, warna utama batik ‘Tiga Negeri’ mulai digunakan pada tahun 1890. Pengusaha batik yang menggunakan warna-warna tersebut terdapat di Batavia, Pekalongan, Lasem dan Surabaya. Van Deventer juga menyebutnya sebagai kain dengan teknik yang rumit.
Pun, teknik tersebut masih tergolong rumit hingga saat ini! Lebih lanjut, Van Deventer menuliskan bahwa pewarna kimia yang disebut Aniline berupa pewarna kain berbentuk serbuk baru digunakan di Jawa Tengah untuk mewarnai batik pada 1904.
Dia menyebutkan pula bahwa penggunaan pewarna ‘Aniline’ merupakan ancaman bagi batik ‘berkualitas prima’ dengan pewarna alami.
Industri batik pada abad ke-19 merupakan salah satu industri rumahan yang banyak dikembangkan oleh orang Tionghoa di Hindia Belanda. Menurut Kong Yuanzhi, semula orang Indonesia menggunakan kain tenun setempat sebagai bahan batik tulis.
Namun lama-kelamaan, para pengusaha batik Tionghoa menggunakan kain impor sehingga kualitas kain batik semakin lama semakin halus, demikian ungkap Yuanzhi dalam buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia, yang terbit pada 2005. Pada kurun masa tersebut mulai muncul penggunaan blok tembaga sebagai alat cap pada batik.
“Tapi blakangan ini di Lasem sadjek moentjoel banjak sarong tjap dan disana-sini banjak dilakoeken pembatikan dengen tjap, harga batik Lasem poen rada merosot, tetapi boekan berarti jang batikindustrie di Lasem ada di dalem kamoendoeran besar; sebaliknja! Maskipoen sekarang orang bisa beli kaen sarong Lasem dengen oewang f 7.50 banjaknja 20 potong, batikindustrie Lasem masi berdjalan teroes dengen soeboer!”