Demikian kutipan dari Kengpo, 22 November 1934.
Cap untuk batik pun telah digunakan di Jawa sejak tahun 1815 tak lama setelah para pengusaha batik menggunakan kain katun putih dari Inggris tahun 1913. Cap ini pun awalnya berupa balok kayu, terinspirasi dari India, seperti yang diungkap Van Deventer.
Dari kutipan Koran Kengpo 1931, salah satu koran Melayu Tionghoa terbesar di Hindia Belanda, Lasem telah terkenal sebagai Kota Batik bahkan pada era 1930-an. Bahkan jauh sebelum itu, pada 1873 telah disebutkan bahwa Lasem yang merupakan bagian dari Residen Rembang hanya memiliki batik tulis menggunakan canting, demikian catatan di Bijdrage tot de kennis der Inlandsche Katoen–industrie op Java dalam Tijdschrift voor nijverheid en Landbouw in Ned. Indie.
Lebih lanjut dalam artikel tersebut dikabarkan:
“Perdagangan disini (Lasem) ada rame. Teroetama penting jalah export dari sarong–sarong (sarong Lasem) barang mana banjak sekali dikirim pergi ke Singapore d.l.l. tempat. Harga dari itoe Export sarong ada berdjoemblah kira–kira 3.000.000 roepia dalem satoe taon. Djadi dalem satoe taonnja kira–kira f 3.000.000 (zegge : tiga millioen roepiah) oewang dari loear negri masoek di kota Lasem boeat tjoema goena beli sarong Lasem sadja. Atawa per boelan oeang dari loear poelo Java jang djato dalem tangannja handelaren Tionghoa di Lasem berdjoemblah f 250.000. (zegge : delapan riboe ampat ratoes roepiah) dalem satoe harinja!.... Tida melaenken di tempat–tempat dalem poelo Java sadja batik Lasem banjak disoeka dan diminta, tapi poen boeat di loear Java, oepama di Tanah Sebrang dan djadjaran Inggris, batik Lasem tida koerang populairnja!”
Dikutip dari koran Kengpo yang sama, Lasem dan perusahaan batiknya tercatat dalam Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch Indie yang terbit 1921. Buku itu menyebutkan bahwa produksi batik tulis Lasem merambah pasar internasional seperti Singapura dengan omset pertahunnya mencapai 3.000.000 gulden/tahun dengan rata-rata pendapatan perhari mencapai 250.000 gulden.
Artikel itu juga mengutip laporan Batikrapport 1934, yang menyebutkan bahwa batik Lasem yang berupa sarung banyak digemari oleh penduduk luar Jawa dan luar negeri. Penggemar utamanya adalah orang-orang di Sumatra, Kalimantan, dan beberapa negara-negara di bawah pemerintahan Inggris.
Pada pertengahan abad 19, Lasem sudah menjadi Kota Batik yang memiliki 120 perusahaan batik. Pada saat yang bersamaan Pekalongan memiliki 60 perusahaan batik, Solo memiliki 60 perusahaan batik, dan Banyumas memiliki 77 perusahaan batik.
Hal ini menunjukkan bahwa Lasem telah menjadi salah satu kota batik terbesar di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19.
Sejak masa awal berdirinya rumah-rumah batik tulis Lasem pada pertengahan abad ke-19, batik Lasem telah menjadi salah satu tempat penghasil batik khas di pesisir pantai utara Jawa.
Batik Lasem sempat terkenal merambah pasar manca negara terutama di Asia Tenggara (Singapura, Srilangka), namun mengalami kemunduran pada 1930-an.