Dunia Hewan: Ekosistem Gajah Asia Menurun Drastis Sejak Tahun 1700-an

By Wawan Setiawan, Senin, 1 Mei 2023 | 17:05 WIB
Menurut peneliti dunia hewan, di Sri Lanka, waduk besar Minneriya yang dibangun oleh Raja Mahasen pada abad ketiga memberi gajah Asia persediaan air sepanjang tahun dan vegetasi dataran banjir untuk mencari makan. (Shermin de Silva)

Nationalgeographic.co.id—Lebih dari 3 juta kilometer persegi rentang habitat bersejarah gajah Asia telah hilang hanya dalam tiga abad. Temuan ini didasarkan pada sebuah laporan baru dunia hewan dari tim ilmiah internasional yang dipimpin oleh peneliti University of California San Diego. Penurunan dramatis ini mungkin mendasari konflik saat ini antara gajah dan manusia, menurut mereka.

Para peneliti mengembangkan wawasan baru dari kumpulan data unik dalam model perubahan penggunaan lahan selama 13 abad. Tim peneliti dipimpin oleh anggota fakultas baru UC San Diego Shermin de Silva. Mereka menemukan bahwa habitat yang cocok untuk gajah Asia telah berkurang hampir dua pertiganya dalam 300 tahun terakhir.

Hewan darat terbesar yang masih hidup di Asia, gajah Asia yang terancam punah menghuni padang rumput dan ekosistem hutan hujan yang pernah membentang luasnya benua.

Menganalisis data penggunaan lahan dari tahun 850 hingga 2015, para peneliti menjelaskan hasilnya dalam jurnal Scientific Reports yang terbit 27 April 2023 dengan tajuk “Land-use change is associated with multi-century loss of elephant ecosystems in Asia.”

Dalam jurnal tersebut menyatakan situasi yang meresahkan di mana mereka memperkirakan bahwa lebih dari 64 persen habitat gajah bersejarah yang cocok di seluruh Asia telah hilang.

Sementara habitat gajah tetap relatif stabil sebelum tahun 1700-an, praktik penggunaan lahan era kolonial di Asia, termasuk ekstraksi kayu, dan pertanian, memotong rata-rata ukuran petak habitat lebih dari 80 persen, dari 99.000 menjadi 16.000 kilometer persegi.

Studi tersebut juga menunjukkan bahwa populasi gajah yang tersisa saat ini mungkin tidak memiliki wilayah habitat yang memadai.

Gajah Asia mendiami hutan gugur yang kering, terlihat di sini di Sri Lanka, serta hutan hujan yang rimbun. (Shermin de Silva)

Sementara 100 persen area dalam jarak 100 kilometer dari jangkauan gajah saat ini dianggap sebagai habitat yang cocok pada 1700, proporsinya telah menurun menjadi kurang dari 50 persen pada 2015.

Hal ini menimbulkan potensi konflik yang tinggi dengan orang-orang yang tinggal di daerah tersebut karena populasi gajah mengubah perilakunya dan menyesuaikan diri dengan ruang yang lebih didominasi manusia.

"Pada tahun 1600-an dan 1700-an ada bukti perubahan dramatis dalam penggunaan lahan, tidak hanya di Asia, tetapi secara global," kata de Silva, asisten profesor di Departemen Ekologi, Perilaku, dan Evolusi Sekolah Ilmu Biologi, dan pendiri dari nirlaba Trunks & Leaves. "Di seluruh dunia kita melihat transformasi yang sangat dramatis yang memiliki konsekuensi yang bertahan hingga hari ini."

Juga berkontribusi dalam penelitian ini adalah para peneliti dari seluruh dunia, termasuk Smithsonian's National Zoo and Conservation Biology Institute, University of Nottingham Malaysia, Frankfurt Zoological Society, Vietnam National University of Forestry, Wild Earth Allies, Zoological Society of London dan Colby College.