Nationalgeographic.co.id—Hampir semua orang di seluruh dunia tahu gajah. Bahkan, banyak anak di seluruh dunia menyukai gajah meski belum pernah melihatnya secara langsung.
Banyak orang juga tahu bahwa gajah adalah satwa yang dilindungi. Namun, kebanyakan mereka tidak tahu apa tujuan kita melindungi gajah. Apalagi gajah liar yang kerap merusak area perkebunan dan pertanian penduduk.
Sebuah studi yang terbit di Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan pada 2017 mengungkapkan persepsi masyarakat dari tiga desa di Sumatra Selatan yang hidup bersisian dengan habitat gajah sumatra.
Makalah studi yang bertajuk "Persepsi Masyarakat terhadap Gangguan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Kabupaten Ogan Komering Ilir" itu membahas konflik gajah dan masyarakat yang terjadi di tiga desa di Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.
Penelitian dilakukan di tiga desa itu pada bulan September 2015 sampai Desember 2015 dengan tujuan untuk mengetahui persepsi serta karakteristik sosial-ekonomi masyarakat terkait konflik terhadap nilai konservasi gajah.
"Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara terstruktur, responden dipilih secara sengaja (purposive sampling)," tulis Anita Rianti dan R. Garsetiasih, dua peneliti yang menyusun makalah studi tersebut. Saat menyusun studi ini, keduanya bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.
"Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di Desa Gajah Mati dan Gajah Mulya masih rendah yaitu masing-masing 51% dan 47% merupakan lulusan SD, sedangkan tingkat pendidikan di Desa Gajah Mukti sebesar 58% adalah lulusan SMA," tulis mereka.
Total ada 291 responden yang diwawancarai dalam studi ini. Mayoritas responden termasuk dalam kelas usia produktif dan bekerja sebagai petani ladang.
Pendapatan rata-rata masyarakat di Desa Gajah Mati saat penelitian adalah Rp1.814.583 per bulan. Adapun pendapatan rata-rata di Desa Gajah Mukti dan Gajah Mulya secara berurutan adalah Rp1.158.750 dan Rp1.060.833.
"Gangguan gajah terjadi di semua desa responden, dan berdampak pada persepsi masyarakat terhadap konservasi gajah menjadi negatif. Sebagian besar responden menginginkan gajah dipindahkan ke Suaka Margasatwa Padang Sugihan," papar para peneliti.
Gangguan ini terjadi karana gajah sumatra membutuhkan jumlah konsumsi pakan yang banyak untuk mencukupi kebutuhan energi sesuai dengan ukuran tubuhnya yang besar. Di sisi lain sumber daya makanan di habitat mereka makin berkurang karena alih fungsi hutan.
Abdullah (2009) menyatakan bahwa jika kebutuhan pakan gajah yang tinggi tidak lagi terpenuhi oleh habitat, sementara potensi pakan yang tinggi tersedia di sekitar habitat, maka akan mendorong gajah untuk keluar dari habitatnya dan memanfaatkan sumber pakan yang tersedia di kawasan budidaya untuk memenuhi kekurangan pakan.