Seidenticker (1984) menyatakan bahwa ketika habitat gajah tidak lagi sesuai dengan kebutuhannya, maka hewan ini akan keluar dari habitat menuju kawasan di sekitarnya antara lain perkebunan, perladangan atau permukiman penduduk sehingga menimbulkan konflik dengan manusia.
Selanjutnya Alikodra (1990), menyatakan bahwa ketika kondisi habitat rusak, gajah sumatra akan melakukan aktivitas untuk mendapatkan makanan dan cover dengan mencari hutan lain yang lebih baik dan lebih luas, seperti areal perkebunan, areal budidaya pertanian dan perladangan.
Menurut Jogasara (2011), perubahan habitat gajah menjadi perkebunan monokultur (sawit dan karet) menyebabkan pengurangan habitat gajah secara nyata. Hal ini mengakibatkan gajah terperangkap dalam blok-blok kecil hutan yang tidak cukup untuk mendukung kehidupannya dalam jangka panjang, sehingga menjadi pemicu terjadinya konflik antara manusia dengan gajah.
"Hal ini terjadi di kawasan hutan dan perkebunan milik PT. Sampoerna Agro, Tbk, PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH), dan PT. Russelindo Putra Prima (PT. RPP) yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Gajah merusak tanaman sawit, karet, akasia, padi, dan tanaman pertanian lainnya milik masyarakat dan perusahaan," tulis para peneliti.
Pandangan atau persepsi masyarakat terhadap keberadaan gajah ini kemudian jadi cenderung negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan gajah merupakan hewan yang merugikan (68,4%), hewan yang merusak (17,6%), dan sisanya (10,5 %) menganggap gajah hewan yang tidak bermanfaat.
Dari semua responden yang diwawancarai, terdapat responden yang menyatakan tidak tahu manfaat gajah bagi mereka. Responden yang menyatakan tidak tahu sebenarnya sama persepsinya dengan yang menyatakan gajah tidak bermanfaat, mereka menganggap keberadaan gajah menimbulkan kerugian.
Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan belum merasa dirugikan oleh kehadiran gajah (5,9%), dikarenakan ladang mereka belum pernah diganggu oleh gajah.
Selain mempunyai persepsi yang negatif terhadap keberadaan gajah, responden juga menyatakan keberadaan perkebunan belum memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Lebih lanjut, sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka tahu bahwa gajah adalah satwa yang dilindungi, tetapi tidak tahu tujuan dari melindungi gajah.
Responden menginginkan gajah dipindahkan dari kawasan hutan dan areal ladang yang mereka usahakan karena masyarakat merasa terganggu oleh gajah. Hal ini ditunjukkan oleh surat dari kepala desa yang ditujukan pada pemerintah daerah setempat atas gangguan gajah yang terjadi.
Baca Juga: Bertubuh dan Berkontribusi Besar, Bisakah Gajah Menyelamatkan Bumi?