Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi yang dilakukan di Desa Ulak Kedondong, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, mengungkapkan bahwa kebanyakan responden di sana merasa terganggu dengan keberadaan gajah sumatra liar.
Para peneliti telah menerbitkan hasil studi ini di jurnal AIP Conference Proceedings pada 2019. Makalah studi mereka ini bertajuk "Community perception around plantation forest area in Ulak Kedondong Village, towards Sumatran elephant (Elephas maximus sumatranus) disturbance".
Anita Rianti, Raden Garsetiasih, dan Hendra Gunawan, mengerjakan studi ini sejak Agustus hingga November 2017. Pengumpulan data sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat yang tinggal di sekitar Timber Estate milik PT Bumi Mekar Hijau di Desa Ulak Kedondong dalam studi ini dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner.
Data yang dikumpulkan meliputi umur responden, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, spesies dan produktivitas tanaman yang ditanam, pola tanam, pola penggunaan lahan, luas penguasaan lahan, gangguan satwa liar, dan kerugian akibat gangguan gajah.
Metode purposive random sampling digunakan untuk memilih responden untuk sampel penelitian yang terdiri dari masyarakat Desa Ulak Kendondong yang mengalami korban gangguan gajah, tokoh masyarakat, kepala desa. Jumlah responden sebanyak 30 orang.
Teknik wawancara dilakukan secara terstruktur dan mendalam (in-depth interview), maupun semi terstruktur berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan dan dipersiapkan sebelumnya.
Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan dinilai berdasarkan persentase kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan tabel dengan menggunakan software Microsoft Excel untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif.
Hasilnya, sebanyak 91,7 persen responden menyatakan bahwa gajah berbahaya dan tidak bermanfaat. Tim peneliti mengatakan, persepsi negatif masyarakat terhadap konservasi gajah ini antara lain dipengaruhi oleh gangguan gajah terhadap area warga di sana.
"Mayoritas responden termasuk usia produktif dan bekerja sebagai petani (88,9%), sisanya adalah petani padi gogo dan nelayan gabus," tulis para peneliti.
"Mayoritas responden di Desa Ulak Kedondong sangat terganggu dengan keberadaan gajah sehingga persepsi masyarakat terhadap gajah menjadi negatif dan responden berharap pemerintah dapat mengganti kerugian yang diakibatkan oleh gangguan gajah atau dapat memindahkan gajah ke lokasi lain yang jauh dari pemukiman penduduk."
Para peneliti mencatat, tingkat gangguan gajah di Desa Ulak Kedondong tergolong sedang. Sebab, masyarakat dirugikan dengan keberadaan gajah, tetapi tidak menimbulkan korban jiwa.
Baca Juga: Mayoritas Masyarakat Tidak Tahu Tujuan Melindungi Gajah Sumatra
Baca Juga: Bertubuh dan Berkontribusi Besar, Bisakah Gajah Menyelamatkan Bumi?
Baca Juga: 100 Tahun Gajah: Lihat Bagaimana Nat Geo Memotret Makhluk Ikonik Ini
Lebih lanjut, berdasarkan hasil studi ini, sebagian besar responden memiliki pengetahuan bahwa gajah adalah hewan yang dilindungi (74,2%) karena hewan langka tetapi tidak mengetahui cara melindungi gajah. Adapun sebagian kecil lainnya menjawab tidak tahu bahwa gajah adalah hewan yang dilindungi (25,8%).
Adanya gangguan gajah menyebabkan masyarakat mengharapkan perbaikan dalam pengelolaan gajah dari para pemangku kepentingan (pemerintah dan perusahaan hutan tanaman industri) agar gajah dapat dipindahkan dari kawasan hutan ke kawasan lain yang jauh dari lokasi ladang dan kebun yang diusahakan oleh masyarakat.
Dalam studi ini, tingkat pendidikan responden mayoritas berada pada kategori rendah yaitu 51,61% hanya tamat SD, sedangkan tamat SLTP dan SLTA masing-masing 16,13% dan 9,68%. Tingkat pendidikan yang rendah dikonfirmasi oleh sisa responden yang tidak tamat SD atau bahkan tidak bersekolah (22,58%).
Garsetiarsih menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan penurunan pemahaman dan persepsi masyarakat terhadap nilai-nilai konservasi. Pendidikan yang rendah menjadi kendala dalam mengejar penghidupan yang baik sehingga berakhir menjadi petani yang mengandalkan pendapatan dari sistem bercocok tanam.
Kondisi ini dapat memicu masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya hutan di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini turut mengurangi sumber pakan gajah dan memicu perebutan ruang dan sumber daya antara gajah dan manusia sehingga memicu konflik yang disebut warga sebagai gangguan gajah.
"Untuk meminimalisasi gangguan gajah, perlu adanya peningkatan ketersediaan pakan gajah melalui perbaikan habitat baik di areal perusahaan Timber Estate maupun perkebunan rakyat yang merupakan areal jalur gajah," saran tim peneliti.
Pergulatan konflik manusia-gajah di daerah lainnya di Sumatra tercatat dalam cerita baru di Majalah National Geographic Indonesia edisi Mei 2023. Edisi ini mengulas upaya manusia mempelajari dan memahami gajah agar bisa hidup berdampingan.